Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gintangan, dari Pelarian Perang Menjadi Sentral Kerajinan Bambu

Kompas.com - 13/05/2017, 16:32 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati

Penulis

BANYUWANGI,KOMPAS.com - Desa Gintangan Kecamatan Blimbingsari Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, cukup lama dikenal sebagai sentra pembuatan kerajinan bambu. Identitas bambu tersebut semakin kuat dengan diadakannya Festival Bambu selama tiga hari sejak 11-13 Mei 2017.

Pada festival yang masuk dalam agenda Banyuwangi Festival tersebut, dipamerkan produk kerajinan anyaman bambu serta digelar karnaval dengan menggunakan kostum yang terbuat dari bambu.

Rusdianah, Kepala Desa Gintangan kepada Kompas.com, Sabtu (13/5/2017) menceritakan, nama Gintangan berasal dari kata "Gontangan" yaitu alat untuk membawa air dari bambu.

Gontangan dibuat oleh Patih Suluh Agung seorang prajurit pelarian dari Perang Puputan Bayu pada jaman kerajaan Blambangan yang menjadi cikal bakal Kabupaten Banyuwangi.

"Saat itu Patih Sulung Agung dan pasukannya kalah berperang dengan Belanda dan mereka melarikan diri ke arah timur Bayu Songgon tempat perang berlangsung. Karena banyak prajurit yang sudah tidak kuat berjalan, Patih Sulung Agung meminta agar mereka berhenti untuk beristirahat," katanya.

Patih Sulung Agung kemudian meminta dua prajurit yang masih sehat untuk mencari air dan mereka menemukan "Banyu Panguripan" atau air kehidupan, yang kemudian mereka masukkan ke dalam gontangan.

Syahdan, air yang dimasukkan ke dalam gontangan tersebut saat diminum ternyata bisa menyembuhkan prajurit-prajurit yang terluka.

"Tempat beristirahat prajurit tersebut akhirnya disebut gontangan yang kemudian dikenal dengan Gintangan ya di wilayah desa sini. Itu cerita tutur yang ceritakan secara turun temurun oleh para sesepuh," ucap Rusdianah.

KOMPAS.COM/Ira Rachmawati Anak anak sedang menganyam di Desa Gintangan Banyuwangi
Ia mengatakan, awalnya kerajinan bambu yang dibuat adalah alat-alat rumah tangga seperti bakul atau kukusan untuk menanak nasi. Namun baru pada tahun 1980-an berkembang ke kerajinan yang lebih modern dan bervariatif seperti kap lampu, tempat tisu, tudung saji, hantaran hingga songkok.

Perkembangan kerajinan tersebut tidak lepas dari tangan kreatif warga bernama Madrawuh.  lelaki itu yang mengawali kerajinan modern di Desa Gintangan. Madrawuh sendiri sudah meninggal tahun 1999 pada usia 70 tahun.

"Bapak profesinya sebagai petani dan juga seniman. Dia yang mengkreasikan anyaman bambu menjadi lebih berkembang bukan hanya sekedar alat dapur tapi banyak jenis. Puncak kejayaan kerajinan anyaman bambu di desa ini sekitar tahun 1980 an. Saat itu bapak memiliki pegawai sampai 50 orang lebih saat itu," kata Amanto (51) anak keempat almarhum Madrawuh.

Saat itu, Madrawuh sendiri yang menjual barang kerajinannya sampai keluar kota Banyuwangi. Jumlah perajin di Desa Gintangan semakin banyak ketika pegawai Madrawuh bekerja mandiri.

"Pegawai bapak kebanyakan warga sini saja. Ada yang sudah pintar kemudian buka sendiri akhirnya ya menyebar hingga seluruh desa," ucap Amanto.

Dari cerita almarhum bapaknya, keahlian membuat bambu ia didapatkan dari seorang perajin bambu yang berasal dari Kecamatan Giri.

Dari tujuh anak Madrawuh, tiga orang melanjutkan profesi sebagai perajin bambu. Ia mengatakan, kerajinan anyaman bambu disukai oleh banyak orang karena hasil pengerjaanya halus dan rapi. Selain itu banyak model yang bisa dibuat oleh perajin yang ada di Gintangan.

Halaman Berikutnya
Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com