Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Unjuk Rasa Buruh untuk Revisi Upah Picu Kemacetan Jalur Semarang-Solo

Kompas.com - 16/11/2016, 21:27 WIB
Kontributor Ungaran, Syahrul Munir

Penulis

UNGARAN, KOMPAS.com - Ribuan buruh yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Pekerja Ungaran (Gempur) Kabupaten Semarang kembali menggelar unjuk rasa di Kantor Bupati Semarang, Rabu (2/11/2016) sore.

Buruh menuntut agar Pemkab Semarang menaikkan upah minimum regional.

Di tengah hujan di Kota Ungaran, buruh memulai aksi jalan kaki dari Stadion Pandanaran, Wujil, Ungaran, menuju kantor Bupati Semarang, Jalan Diponegoro Nomor 14, Ungaran.

Para peserta unjuk rasa tertahan di depan gerbang kantor Bupati Semarang, sementara perwakilan buruh diterima di ruang Wakil Bupati Semarang Ngesti Nugraha.

Mereka yang tertahan di depan gerbang akhirnya meluber hingga ke jalan raya hingga memacetkan arus lalu lintas di jalan utama Semarang-Solo tersebut.

Petugas dari Satlantas Polres Semarang tampak sibuk mengalihkan arus untuk menghindari titik kemacetan di jalan raya utama kota Ungaran. Arus lalu lintas kembali normal sekitar pukul 18.30 WIB setelah para pengunjuk rasa membubarkan diri.

Seperti aksi sebelumnya, demonstran menuntut agar usulan upah minimum kabupaten (UMK) di Kabupaten Semarang 2017 sebesar Rp 1.743.000 direvisi.

Mereka juga meminta pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan karena dianggap merugikan pekerja.

"Tuntutan masih sama, kita minta UMK sebesar Rp 2.175.000," kata Ketua DPD Federasi Kesaturan Serikat Pekerja Nasional (FKSPN) Kabupaten Semarang Sumanta.

Menurut dia, usulan UMK yang diajukan oleh Bupati Semarang ke Gubernur Jawa Tengah berdasarkan PP Nomor 8 Tahun 2016 hanya menghasilkan besaran UMK Rp 1.742.200. Ia meminta usulan UMK tersebut direvisi.

"UMK sebesar itu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup buruh dengan layak," ujarnya.

Ia berpendapat bahwa perhitungan UMK berdasarkan PP No 78 Tahun 2015 bertentangan dengan Pasal 88 ayat (4) UU No 13 Tahun 2003. Sebab, kenaikan UMK hanya berdasarkan PP tanpa adanya survei kebutuhan hidup layak (KHL), yakni hanya berkisar 8,25 persen dari UMK lama.

"Hasil survei kami, KHL di Kabupaten Semarang hampir mendekati Rp 2 juta sehingga bila ditambah perhitungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi angkanya Rp 2.175.000," kata dia.

Secara terpisah, Asisten Ekonomi dan Pembangunan Setda Kabupaten Semarang Anang Dwinanta mengatakan, pencabutan PP No 78 Tahun 2015 adalah kewenangan pemerintah pusat.

Ia menyatakan bahwa tidak ada pedoman atau aturan satu pun yang bisa digunakan untuk mengubah perhitungan UMK oleh Dewan Pengupahan.

"Tidak ada produk hukum untuk menghitung ulang kajian itu, rumusnya tetap inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi. Pemerintah daerah tentu tidak berani melanggar peraturan yang lebih tinggi," kata Anang.

Anang menjelaskan, peraturan lama Menteri Tenaga Kerja yang dijadikan perhitungan UMK sudah dicabut dengan terbitnya PP No 78 Tahun 2015.

"Tuntutan buruh belum bisa diakomodasi karena memang tidak ada peraturan yang bisa mengakomidir apa yang dimau Gempur," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com