Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Rasa-rasanya Kami Ini seperti Belum Merdeka..."

Kompas.com - 16/08/2016, 22:47 WIB
Dani Julius Zebua

Penulis

BALIKPAPAN, KOMPAS.com - Cemas kerap mendera Laiyen, 41 tahun, warga Kampung Muara Tae, Kecamatan Jempang, Kutai Barat, Kalimantan Timur, seiring gigihnya Petrus Asuy, sang suami, mempertahankan tanah adat Dayak Benuaq di sana dari desakan perusahaan tambang dan perkebunan kelapa sawit.

Khawatir lantaran konflik belum usai. Cemas karena perusahaan terus berupaya menguasai lahan warga. “Dan was-was setiap kali suami dan anak berjuang untuk mempertahankan tanah kami,” kata Laiyen, Selasa (16/8/2016).

Separuh lebih lahan dan hutan adat masyarakat di kampung Muara Tae rusak sejak 20 tahun lalu akibat pemerintah menerbitkan Hak Pengusahaan Hutan bagi perusahaan tambang dan kelapa sawit. Masyarakat terhimpit, padahal mereka sangat bergantung pada lahan dan hutan adat ini sudah sejak sebelum negara ini berdiri.

Warga kehilangan ketenangan hidup karena sulit berladang, bertani, dan memanfaatkan hasil hutan bagi kehidupan mereka. Ia mengatakan, hal ini merupakan berkah sejak nenek moyang mereka.

“Saat dimana kami bahagia mendengar suara burung di hutan. Kami senang berada di antara satwa yang begitu beragam. Kami bangga memiliki satwa yang langka dan dilindungi,” kata Laiyen.

Sejak himpitan tambang dan sawit, semua berubah. Warga tak tenang. Mereka merasa dibiarkan sendiri memperjuangkan hak-hak atas tanah dan penghidupannya. Laiyen pun turut menggugat dengan mempertanyakan kemerdekaan apa yang diberi pemerintah bagi hidup warga adat.

Tanah banyak sudah dirampas, di-bulldozer, bahkan mereka yang mempertahannya, seperti Petrus, sering kali diancam bahkan akan dipolisikan. “Kalau disebut hidup merdeka. Rasa-rasanya kami ini seperti belum merdeka,” kata Laiyen.

Salah satu masa berat keterkungkungan hidup dirasakan antara tahun 2011 hingga 2013. “Kami ini seperti terusir. Suami dan anak melawan (perusahaan sawit). Saya sendirian, apalagi 2010 hingga 2012, saat anak-anak masih kecil. Was-was, khawatir, antara hidup dan mati,” kata Laiyen.

Laiyen menyadari berat dan besar resiko mempertahankan hak atas tanah. Petrus terus berjuang didukung warga Muara Tae. Ancaman pun masih terus datang hingga kini.

Gigihya mempertahankan tanah adat Benuaq ini memang membuat Petrus Asuy dan masyarakat Muara Tae akhirnya dianugerahi penghargaan Equator, penghargaan dari UNDP, sebuah program pembangunan PBB, bagi komunitas pejuang lingkungan dunia.

Tapi ancaman belum belum berakhir. Akhir Juni 2016 lalu, Laiyen dan Petrus beserta anak-anak mereka sempat mendapat ancaman pembunuhan mereka menolak menyerahkan hutan adat kepada perusahaan kelapa sawit. Saat itu Petrus menolak semua mediasi.

“Malam satu hari setelah mediasi, ada orang datang diam- diam tengah malam. Mereka lari begitu digongong anjing dan diteriaki suami,” kata Laiyen.

Ancaman itu, kata wanita 10 anak ini, kembali menegaskan bahwa keluarga Petrus juga warga setempat tidak lagi sepenuhnya merasa kemerdekaan, meski negeri ini tengah memperingatinya.

"(Sebagai warga merdeka) Harusnya hidup aman, nyaman, dan tenang," kata Laiyen.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com