GOVE, KOMPAS.com – Richard Ian Trudgen hanya mengenakan kemeja dan celana pendek saat menyambut di pintu rumah. Rambut dan janggutnya sama putihnya. Sama-sama panjang, menjuntai pula.
Dia lalu mempersilakan tamu-tamunya yang sedang bercengkerama dengan istrinya, untuk masuk ke dalam rumah.
Istrinya lalu melanjutkan aktivitasnya memindahkan bunga dan tanaman obat ke dalam polybag untuk dijual pada Sunday Market yang akan dimulai beberapa jam lagi.
“Nanti sore akan ada Sunday Market, ini kesempatan keluarga kami untuk mencari dana tambahan. Ayo, kalian juga bisa ikut ke sana,” ujar Richard seakan tahu pertanyaan di kepala para tamunya.
Richard lalu duduk. Dia bertanya apakah tak ada masalah bagi para tamunya jika dia berpakaian seperti itu sepanjang wawancara.
Tak ada yang keberatan, dia pun segera memulai ceritanya tentang suku Yolngu, penduduk Aborigin di Arnhem Land, Northern Territory, Australia, yang menjadi bagian dari hidupnya sejak lebih dari 40 tahun lalu.
Meski suku Yolngu sehari-hari sudah hidup dengan pakaian modern, mengendarai mobil dan menggunakan ponsel, hingga berbelanja di supermarket, Richard mencatat bahwa hidup mereka masih jauh terbelakang dari kehidupan "Balanda", sebutan suku Yolngu kepada bangsa Eropa atau orang kulit putih.
Mereka hidup miskin dan frustrasi
Dari segi kehidupan ekonomi, Richard mencatat bahwa kehidupan ekonomi suku Yolngu tidak kokoh, banyak yang menganggur dan mengandalkan hidup dari bantuan rutin dari pemerintah Australia.
Ketika mendapatkan uang, masih banyak penduduk Yolngu yang kerap menggunakannya justru untuk minum alkohol, berjudi dan membeli rokok, ketimbang menabung atau menggunakannya untuk berbisnis.
"Persoalan mendasar dari suku Yolngu adalah mereka tidak berpikir tentang masa depan. Mereka hanya memikirkan hidup untuk hari ini saja," tuturnya.
Seorang perempuan suku Yolngu, misalnya, kerap mendatangi tempat judi setiap malam dan mempertaruhkan 100 dollar Australia sekali datang. Dia juga suka merokok. Padahal, sebagai seniman Aborigin, dia hanya memiliki uang jika berhasil menjual lukisannya.
Kehidupan miskin dan frustasi itu bagaikan “lingkaran setan” yang tak bisa putus dengan anggapan dari para "Balanda" bahwa mereka primitif.
Richard mengaku sempat menghadapi sejumlah kendala dalam mengupayakan agar penduduk Yolngu melek bahasa Inggris dan komputer.