Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Panggilan Hati Richard Trudgen untuk Orang-orang Aborigin

Kompas.com - 31/07/2016, 19:57 WIB
Caroline Damanik

Penulis

GOVE, KOMPAS.com – Richard Ian Trudgen hanya mengenakan kemeja dan celana pendek saat menyambut di pintu rumah. Rambut dan janggutnya sama putihnya. Sama-sama panjang, menjuntai pula.

Dia lalu mempersilakan tamu-tamunya yang sedang bercengkerama dengan istrinya, untuk masuk ke dalam rumah.

Istrinya lalu melanjutkan aktivitasnya memindahkan bunga dan tanaman obat ke dalam polybag untuk dijual pada Sunday Market yang akan dimulai beberapa jam lagi.

“Nanti sore akan ada Sunday Market, ini kesempatan keluarga kami untuk mencari dana tambahan. Ayo, kalian juga bisa ikut ke sana,” ujar Richard seakan tahu pertanyaan di kepala para tamunya.

Richard lalu duduk. Dia bertanya apakah tak ada masalah bagi para tamunya jika dia berpakaian seperti itu sepanjang wawancara.

Tak ada yang keberatan, dia pun segera memulai ceritanya tentang suku Yolngu, penduduk Aborigin di Arnhem Land, Northern Territory, Australia, yang menjadi bagian dari hidupnya sejak lebih dari 40 tahun lalu.

Meski suku Yolngu sehari-hari sudah hidup dengan pakaian modern, mengendarai mobil dan menggunakan ponsel, hingga berbelanja di supermarket, Richard mencatat bahwa hidup mereka masih jauh terbelakang dari kehidupan "Balanda", sebutan suku Yolngu kepada bangsa Eropa atau orang kulit putih.

Mereka hidup miskin dan frustrasi

KOMPAS.com/Caroline Damanik Robyn Bulunu Mananggur, seorang artis Aborigin, bersama Dian (berbaju putih) dan Richard Ian Trudgen di acara Sunday Market di Nhulunbuy, Gove, Northern Territory, Australia.
Sejumlah persoalan kerap menyertai, misalnya tempat tinggal yang tidak layak, nutrisi dan sanitasi yang buruk, tingginya angka bunuh diri, rendahnya tingkat pendidikan, hingga ketidakmampuan berbahasa Inggris.

Dari segi kehidupan ekonomi, Richard mencatat bahwa kehidupan ekonomi suku Yolngu tidak kokoh, banyak yang menganggur dan mengandalkan hidup dari bantuan rutin dari pemerintah Australia.

Ketika mendapatkan uang, masih banyak penduduk Yolngu yang kerap menggunakannya justru untuk minum alkohol, berjudi dan membeli rokok, ketimbang menabung atau menggunakannya untuk berbisnis.

"Persoalan mendasar dari suku Yolngu adalah mereka tidak berpikir tentang masa depan. Mereka hanya memikirkan hidup untuk hari ini saja," tuturnya.

Seorang perempuan suku Yolngu, misalnya, kerap mendatangi tempat judi setiap malam dan mempertaruhkan 100 dollar Australia sekali datang. Dia juga suka merokok. Padahal, sebagai seniman Aborigin, dia hanya memiliki uang jika berhasil menjual lukisannya.

Kehidupan miskin dan frustasi itu bagaikan “lingkaran setan” yang tak bisa putus dengan anggapan dari para "Balanda" bahwa mereka primitif.

Richard mengaku sempat menghadapi sejumlah kendala dalam mengupayakan agar penduduk Yolngu melek bahasa Inggris dan komputer.

“Kami membayar orang mengajarkan tentang menulis laporan dengan komputer, lalu mengajar mereka untuk menyusun pembukuan di Darwin, tetapi tidak berlanjut. Para pengajarnya menganggap orang-orang ini primitif,” tuturnya.

Literasi

Persoalan ini menjadi pergumulan Richard bertahun-tahun. Melalui Aboriginal Resource Development Services (ARDS), Richard berupaya menjembatani suku Yolngu dan "Balanda" agar kehidupan lima komunitas besar Yolngu dan 90 permukiman warga yang tersebar di Arnhem Land bisa terangkat secara ekonomi, budaya, kesehatan dan pendidikan.

“Untuk menemukan persoalan utamanya, kita harus berjalan bersama dengan mereka, dan mengenal kehidupan mereka. Tentu saja ini sulit bagi seseorang dari latar belakang budaya yang berbeda. Namun, dengan mendengar langsung cerita dari orang Yolngu dan sejumlah kasus bagaimana mereka menentang budaya "Balanda",” ungkap Richard.

Menurut Richard, persoalan utama dari ketertinggalan suku Yolngu adalah minimnya akses informasi yang diterima suku Yolngu. Penyebabnya adalah bahasa.

Tidak banyak pelatihan bahasa Inggris yang digelar untuk penduduk Yolngu. Akibatnya, seberharga apa pun informasi yang disebar tidak bisa memperkaya wawasan penduduk Yolngu.

KOMPAS.com/Caroline Damanik Richard Ian Trudgen, pendiri dan pimpinan Aboriginal Resource Development Services (ARDS), memberdayakan suku Yolngu, penduduk Aborigin di Arnhem Land, Northern Territory, Australia, melalui siaran radio yang diudarakan secara swadaya dari rumahnya di Nhulunbuy, Semenanjung Gove. Richard juga menulis buku tentang penduduk asli Australia ini yang diberi judul "Why Warriors Lie Down and Die".
“Padahal, informasi harus disampaikan dalam bahasa penduduk lokal, bukan bahasa Inggris. mereka tidak memahaminya,” ujarnya kemudian.

Salah satu informasi yang juga sangat minim diterima oleh suku Yolngu adalah syarat dan petunjuk untuk mulai berbisnis. Menurut Richard, sudah syaratnya sulit, tidak pernah ada pendekatan yang tepat untuk mendorong mereka membuka usaha.

“Karena di Australia, untuk berbisnis membutuhkan persyaratan yang tidak mudah, harus lapor sercara rutin, bayar pajak yang tinggi. Untuk memulai bisnis baru benar-benar rumit,” tambahnya.

Karena ketimpangan ini, Richard menempuh sejumlah cara untuk mengatasi masalah literasi informasi yang dihadapi oleh suku Yolngu.

Richard bertahun-tahun menggelar seminar untuk para "Balanda" yang bertugas dalam pelayanan publik di Nhulunbuy, Semenanjung Gove, pusat pelayanan publik, agar mereka bisa melayani suku Yolngu secara kontekstual.  

Pelatihan juga diberikan kepada warga Yolngu, misalnya pelatihan cara menggunakan komputer dan internet lalu mengajarkan mereka istilah ekonomi ala Barat agar melek. Salah satu orang Yolngu yang didampingi adalah Gayili Marika Yunupinu, seorang pelukis dari klan Gumatj.

Dia juga membuat Yolngu Radio pada tahun 2003. Ada 20 pemancar yang tersebar di seluruh Arnhem Land dan juga terdengar hingga Darwin. Menurut Richard,  ada sekitar 8.000 suku Yolngu yang bisa mendengarnya. Lalu pada tahun 2000, dia menulis buku berjudul “Why Warriors Lie Down and Die”.

“Kami juga sedang merencanakan Yolngu School Online agar makin banyak orang Yolngu yang bisa terjangkau,” ungkapnya.

Panggilan

Richard muda hijrah dari New South Wales, kampung halamannya, ke Arnhem Land pada tahun 1973 untuk bekerja sebagai relawan di tengah komunitas suku Yolngu. Dia mulai belajar bahasa penduduk setempat dan terlibat dalam pengembangan masyarakat.

Hidup bersama dan mengenal penduduk Yolngu membuatnya jatuh cinta hingga akhirnya memutuskan untuk tinggal di Arnhem Land untuk seterusnya.

KOMPAS.com/Caroline Damanik Richard Ian Trudgen, pendiri dan pimpinan Aboriginal Resource Development Services (ARDS), berbicara dalam seminar yang digelar di Nhulunbuy, Northern Territory, Australia, akhir Mei 2016. Seminar ini digelar untuk para warga kulit putih yang terlibat dalam pelayanan publik penduduk Aborigin di tempat itu.
“Saya bertobat dari kehidupan lama saya, nge-band lalu memakai obat-obatan terlarang dan menegak minuman alkohol pada awal 70-an. Lalu saya ikut sebuah misi ke komunitas Milingimbi sebagai mekanik selama satu tahun. Lalu saya pindah ke komunitas Ramingining,” tuturnya.

“Selama itu, saya dipaksa untuk belajar bahasa mereka. Belajar bahasa mereka membuat hidup saya berubah karena ketika saya mengerti bahasa mereka dan berbicara dengan mereka, pikiran saya tentang mereka berubah. Saya pikir mereka orang yang primitif, tetapi mereka ternyata sangat cerdas,” ungkapnya kemudian.

Selama 11 tahun, Richard berada di tengah penduduk Yolngu dan sangat menikmati hidup bersama dengan mereka. Hingga kemudian dia harus meninggalkan Arnhem Land untuk menjalani pengobatan atas penyakit lever yang dideritanya.

“Mereka mengajarkan saya lebih dari apa yang saya bisa ajar atau bagi kepada mereka. Mereka menjadi teman dan keluarga angkat. Hati saya sangat lekat kepada mereka dan sangat sakit rasanya ketika saya harus pergi,” ucapnya.

Namun, semesta mendukung ketika panggilan hati tak bisa dibohongi. Pada tahun 1991, dia menyambut baik panggilan kembali atasannya untuk melayani suku Yolngu.

“Orang-orang Yolngu dan pemimpinnya juga menghubungi saya secara terpisah dan memberi saya beragam alasan mengapa mereka ingin saya kembali,” tuturnya.

 

(Tulisan ini merupkan bagian dari program "Jelajah Australia 2016". Kompas.com telah meliput ke berbagai pelosok Australia pada rentang 14 Mei - 15 Juni 2016 atas undangan ABC Australia Plus. Di luar tulisan ini, masih ada artikel menarik lainnya yang telah disiapkan terbit pada Juli hingga akhir Agustus 2016. Anda bisa mengikuti artikel lainnya di Topik Pilihan "Jelajah Australia 2016".)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com