Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kota Bandung, Sampah, dan Adipura

Kompas.com - 05/08/2015, 18:53 WIB
Kontributor Bandung, Reni Susanti

Penulis

BANDUNG, KOMPAS.com — Tanggal 21 Februari 2005 adalah luka yang mendalam bagi Kota Cimahi dan sekitarnya. Sebanyak 157 jiwa melayang dan dua "kampung terhapus dari peta" karena tergulung longsoran sampah yang berasal dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah.

Semua mata pun tertuju pada TPA Leuwigajah. Bukan hanya karena banyaknya korban jiwa, melainkan juga kekhawatiran ke mana sampah dari Bandung dan Cimahi akan dibuang. Hanya dalam waktu sekejap, Bandung yang dikenal dengan sebutan "Paris van Java", "Kota Kembang", "Bersih Makmur Taat dan Bersahabat" berubah menjadi kota yang kotor. Gunungan sampah terlihat di mana-mana. Masyarakat mulai beraktivitas dengan masker dan mencoba bersahabat dengan lalat maupun belatung yang muncul di antara tumpukan sampah.

Hingga 23 Mei 2006, tumpukan sampah di dalam kota mencapai 550.000 meter kubik. Bandung pun "dianugerahi" sebagai Kota Terkotor 2006 oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla dan diumumkan pada malam penghargaan Adipura Jakarta.

Sindiran pun disampaikan oleh Presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono. Tak ayal, persoalan sampah membuat pusing semua orang. Pemerintah kota/kabupaten dan provinsi sibuk mencari lahan pengganti, mulai dari pengaktifan TPA Sarimukti hingga berbagai rencana strategis pengolahan sampah terpadu, di antaranya Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).

Tahun berganti tahun, pemerintahan pun sudah berganti. Namun, persoalan sampah di Kota Bandung tetap membuat para pejabat mengernyitkan dahi. Terlebih lagi, saat ini kontrak dengan TPA Sarimukti akan segera berakhir. Tepatnya ialah pada 2016 mendatang.

TPA Legok Nangka

Balai Pengelola Sampah Regional (BPSR) sebenarnya sudah menyiapkan lahan pengganti, yakni di TPA Legok Nangka di Nagreg, Kabupaten Bandung. Namun, TPA ini pun menyimpan sejumlah persoalan.

"Tipping fee-nya empat kali lebih mahal," ujar Direktur PD Kebersihan Kota Bandung Deni Nurdiyana belum lama ini.

Saat ini, tipping fee TPA Sarimukti yang dibebankan pada Kota Bandung sebesar Rp 29.000 per ton, sedangkan di Legok Nangka ditetapkan Rp 123.000 per ton.

"Bedanya empat kali lipat. Jika bulan Juni 2015 saja Kota Bandung harus membayar tipping fee Rp 868 juta di Sarimukti, bagaimana dengan di Legok Nangka," ungkapnya.

Deni mengakui, TPA Legok Nangka didesain untuk TPA tercanggih pertama di Indonesia. Namun, dengan kecilnya retribusi yang dibebankan kepada masyarakat, beban yang akan ditanggung PD Kebersihan sangat besar. Saat ini saja, dana retribusi dari masyarakat hanya sekitar Rp 21 miliar, sedangkan dana yang harus dikeluarkan sekitar Rp 80 miliar per tahun.

"Sisanya subsidi pemerintah. Operasional kita dari mulai biaya angkut, penyapu, dan tipping fee TPA mencapai Rp 60 miliar," tuturnya.

Deni mengaku tingkat kebocoran retribusi sampah mencapai 40 persen. Dari potensi Rp 50 miliar, yang diperoleh hanya Rp 21 miliar. Jumlah ini sangat jauh bila dibanding Surabaya yang mencapai Rp 250 miliar. Untuk itu, pihaknya dibantu para pakar tengah mengkaji berapa jumlah retribusi yang sebaiknya dibebankan kepada masyarakat.

"Selama ini dihitung berdasarkan KwH. Kami sedang menyusun berapa kenaikan retribusinya," ucapnya.

Nasib PLTSa

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com