Warga yang menggelar ritual Okol berasal dari 7 kecamatan, yakni Palengaan, Pegantenan, Pakong, Larangan, Pademawu, Pamekasan serta Kecamatan Proppo.
"Okol ini sebagai simbol saja untuk meminta datangnya hujan," kata Rosidi, panitia penyelenggara tradisi Okol.
Dijelaskan Rosidi, selain untuk meminta hujan, Okol merupakan simbol pemersatu masyarakat dari berbagai kecamatan. Dalam seni tradisi Okol atau gulat tradisional, setiap peserta akan diadu kuat untuk saling mengalahkan dan menjatuhkan musuhnya. Bagi yang mampu membanting musuhnya hingga terjatuh, maka ia dinyatakan sebagai pemenangnya. Bagi yang menang akan mendapatkan hadiah.
"Di dalam arena Okol setiap lawan akan saling mengalahkan. Namun setelah usai dan di luar arena, harus damai tanpa ada permusuhan lagi," ungkap Rosidi.
Oleh sebab itu, imbuhnya, warga dari berbagai kecamatan yang datang, sama-sama mengusung misi saling mengalahkan musuhnya. Namun permusuhan itu akan lebur di dalam tadisi Okol.
Subaidi, salah satu peserta Okol asal Desa Plakpak, Kecamatan Pegantenan mengatakan, sudah setiap tahun ia mengikuti tradisi Okol. Ada perasaan gembira ketika mampu mengalahkan musuhnya. Apalagi ada hadiah yang diberikan oleh panitia.
Sedangkan Malik, peserta Okol yang kalah juga mengaku senang meskipun tidak mendapatkan hadiah. Malik sendiri mengaku sempat ada emosi untuk mengalahkan musuhnya, namun setelah pertandingan usai, emosi itu hilang, dan ia serta "musuhnya" kembali bersaudara.
Biasanya, menurut Rosidi, setelah tradisi Okol usai digelar, tanda-tanda turunnya hujan akan tampak, seperti mendung yang mulai menghitam. Beberapa hari berikutnya akan turun hujan.
Sebelum tradisi Okol dimulai, salah satu tokoh masyarakat membuka dengan doa bersama dengan seluruh warga.