Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gedung Tinggi di Yogyakarta Harus Sesuai SNI Gempa Bumi IV

Kompas.com - 27/05/2016, 10:11 WIB
Wijaya Kusuma

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - 10 tahun pasca Peristiwa Gempa Bumi 27 Mei 2016, kini wajah Yogyakarta telah berubah. Bahkan sejak lima tahun terakhir, gedung-gedung bertingkat tumbuh subur di wilayah rawan gempa bumi ini.

Pada peristiwa gempa bumi yang terjadi selama 57 detik pada 2006 lalu, gedung perkantoran dan fasilitas umum yang berada di Bantul dan Kota Yogyakarta mengalami kerusakan.

Beberapa di antaranya, seperti Gedung Institut Seni Indonesia (ISI) di Jalan Parangtritis Bantul, Gedung Kampus STIE Kerjasama di Jalan Parangtritis Bantul, GOR Amongrogo di Kota Yogyakarta dan termasuk bangunan sekolahan di Bantul.

Kini, pasca gempa berkekuatan 5,9 Skala Richer yang terjadi di DIY dan Jawa Tengah, Yogyakarta telah berbenah. Pembangunan terus berjalan dan muncul wajah baru Yogyakarta berupa bangunan-bangunan bertingkat.

"Sejak sekitar lima tahun lalu wajah Yogya berubah dengan munculnya gedung-gedung bertingkat," ujar Kepala Seksi Kedaruratan BPBD DIY, Danang Samsu saat ditemui Kompas.com, akhir April 2016.

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY yang dikumpulkan dari berbagai sumber, bangunan gedung dengan ketinggian 7-11 lantai di Kota Gudeg ini mencapai 42 gedung, yang dalam proses pembangunan 25, dan yang akan dibangunan sebanyak 27.

"Bahkan saat ini di Yogyakarta yang sampai 18 lantai. Kalau gedung lima lantai memang sangat banyak,” ucapnya.

Munculnya gedung-gedung tinggi, sedikit banyak menuai kekhawatiran. Sebab, wilayah DIY terdapat 12 potensi bencana, yakni Banjir, Epidemi dan wabah penyakit , bencana sosial, gelombang tinggi dan abrasi, tsunami, gagal teknologi, kekeringan, kebakaran, letusan Gunung Merapi, kekeringan , tanah longsor dan Gempa Bumi.

Dilihat dari 12 potensi bencana khususnya Gempa Bumi, bangunan yang berdiri di wilayah rawan harus memiliki standar khusus. Terlebih dengan ketinggian belasan lantai sudah seharusnya memiliki standar mengantisipasinya agar bangunan tetap kuat ketika terjadi guncangan gempa.

"Standar konstruksi bangunan di wilayah rawan gempa itu sudah keharusan, misalnya bangunan harus kuat dan lentur ketika ada guncangan,” ucapnya.

Ia mengakui, untuk gedung dengan ketinggian belasan lantai kemungkinan besar perhitungannya lebih matang mengenai kemungkinan -kemungkinan yang akan terjadi, misalnya ketika ada guncangan. Namun untuk gedung yang dibawah belasan lantai, mungkin tidak sedetail yang bangunan tinggi.

"Kalau yang diatas belasan lantai, saya tidak begitu khawatir karena tentu sudah diperhitungkan. Nah yang lima lantai mungkin saja kurang detail ," kata Danang.

Selain itu, para pemilik dari gedung tinggi juga perlu memberikan blueprint kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Blueprint bangunan gedung tersebut berfungsi membantu proses evakuasi ketika sewaktu-waktu terjadi bencana alam. Pasalnya, cara dan kesukitan proses evakuasi gedung bertingkat berbeda.

"Kita sampai saat ini belum menerima salinan blueprint gedung-gedung tinggi di Yogya. Padahal ini penting untuk melakukan pertolongan jika terjadi sesuatu,” ucapnya.

Sementara itu, Sekretaris DPD PHRI DIY, Dedi Prabawa Eryana mengatakan, perijinan pembangunan di DIY khususnya Kota Yogyakarta, harus ada sertifikasi layak fungsi bangunan. Sertifikasi ini sifatnya wajib dan menjadi dasar perizinan di kota Yogyakarta.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com