BANDUNG, KOMPAS.com - Potensi ekonomi karbon pada mangrove dapat menjadi keuntungan, termasuk Jawa Barat. Namun di sebagian tempat, keberadaan mangrove terancam.
Ketua Pusat Perubahan Iklim ITB, Djoko Santoso Abi Suroso mengatakan, pesisir Indonesia sepanjang 95.000 kilometer adalah rumah bagi ekosistem mangrove terbesar di dunia dengan luas sekitar 3,3 juta hektar atau 23 persen dari luas mangrove dunia.
"Kawasan ekosistem mangrove menjadi bagian dari blue carbon di mana terdapat banyak potensi penyerapan dan penyimpanan karbon dioksida (CO2) oleh ekosistem pesisir dan laut," ujar Djoko di sela-sela Workshop "Potensi Blue Carbon Indonesia dalam Perdagangan Karbon" di ITB, Kamis (27/6/2024).
Baca juga: Sempat Rusak, 26 Hektar Kawasan Mangrove Dikembangkan Jadi Ekowisata
Bahkan, mangrove dapat menyerap karbon dengan laju 2-4 kali lebih tinggi daripada hutan terestrial. Hutan mangrove di Indonesia menyimpan 3,14 miliar metrik ton karbon (PgC). Jumlah ini mencakup sepertiga stok karbon pesisir global.
Potensi ekonomi karbon pada mangrove dapat menjadi semacam win-win solution dalam upaya konservasi kawasan ekosistem tersebut.
Mengingat di sisi lain kawasan tersebut juga menyediakan jasa ekosistem lain berupa perlindungan pesisir (soft protection) terhadap potensi abrasi dan kenaikan muka air laut, keanekaragaman hayati, ekowisata di wilayah pesisir, dan potensi ekonomi bagi masyarakat pesisir.
Baca juga: Observatorium Bosscha ITB Buka Kunjungan Malam Setelah Vakum 4 Tahun
Selama ini upaya konservasi ekosistem pesisir selalu mengalami tantangan, kendala, bahkan konflik dengan program pengembangan perekonomian di pesisir.
Contohnya penebangan mangrove demi pembangunan tambak ikan sampai infrastruktur dan industri di beberapa daerah di Jawa Barat.
Untuk itu, sinergi pemanfaatan potensi ekonomi blue carbon diharapkan dapat menjadi titik balik dalam upaya konservasi tersebut.
Indonesia memiliki komitmen yang kuat dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dan pengembangan pasar karbon yang berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim.
Namun sampai saat ini masih belum terdapat peraturan teknis yang lebih rinci yang mengatur ekosistem pasar karbon yang komprehensif dan mengikat, khususnya untuk blue carbon.
Keberadaan aturan tersebut sangat mendesak, menimbang aturan ini diharapkan dapat menunjang konservasi mangrove secara efektif dan berkelanjutan dengan penyediaan insentif finansial yang selaras dengan peningkatan nilai ekonomi kawasan serta investasi.
Pemerintah Indonesia sendiri saat ini tengah serius mengatur tentang perdagangan karbon. Salah satunya melalui Peraturan Presiden No 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon.
Sebagai salah satu regulasi turunannya, Peraturan Menteri LHK No 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan telah mencakup tata kelola ekosistem mangrove.
Dosen Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB, Elham Sumarga, mengatakan dengan adanya manfaat blue carbon, akan menjadi solusi bagi konservasi mangrove di pesisir sekaligus peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya dari laut.
"Selain dapat meningkatkan serapan karbon dan mencegah emisi seperti kerusakan mangrove, ini peluang menggembirakan terutama bagi para pelaku di lapangan. Konservasi dan perekonomian tidak harus selalu bertentangan," tutur dia.
Ia mengatakan penanaman kembali mangrove di pesisir tidak akan mengaruhi produksi ikan dan udang. Menjaga tutupan mangrove tidak akan menurunkan produksi ikan di pesisir.
Studi-studi terdahulu dari Pusat Perubahan Iklim (PPI) ITB telah mengonfirmasi tentang nilai strategis pengembangan mangrove untuk blue carbon di Indonesia seperti di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur; daerah Kepala Burung di Papua Barat; dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.