Saka Tatal salah satu mantan narapidana kasus pembunuhan Vina Cirebon belum lama ini mengaku mendapat pukulan, setruman, dan paksaan oleh polisi agar mau mengaku bersalah dalam proses hukumnya.
Ia mengatakan sebagai “korban salah tangkap” dan menyatakan "tidak ada di tempat kejadian”. Kasusnya sudah diaporkan ke Komnas HAM dan Komisi Yudisial pada 2016 – saat ini kembali diperiksa Komnas HAM.
Terakhir, Saka mengutarakan kasusnya dalam saluran YouTube pesohor Uya Kuya. "Di badan diinjak-injak, dipukuli, kepala saya diadu dengan gembok panjang sampai bocor.”
Polisi menangkis narasi ini dengan menyebut Saka Tatal cenderung berbohong saat diperiksa penyidik enam tahun silam.
Pria di Bekasi diduga disiksa agar mengaku sebagai begal
Seorang pria berusia pertengahan 20 tahun mengaku digebuki hingga delapan jam oleh lima polisi. Ia bersama tiga kawannya dipaksa mengaku sebagai begal pada 2021.
Lukman – bukan nama sebenarnya – diputus bebas dan tidak bersalah dalam putusan banding, setelah sembilan bulan mendekam dipenjara.
Herman tewas disiksa selama dalam tahanan
Kasus yang pernah mencuat adalah kematian Herman di Balikpapan, Kalimantan Timur pada 2020 dan Deki Susanto di Solok Selatan, Sumatra Barat pada 2021.
Herman tewas disiksa selama dalam tahanan setelah dituduh mencuri telepon genggam, sementara Deki kepalanya pecah dihantam timah panas saat hendak ditangkap karena dituduh terlibat judi.
Perkara pidana apa yang disebut sebagai extrajudicial killing terhadap Deki Susanto melibatkan enam polisi terperiksa, dan salah satunya dijadikan tersangka.
Lalu, kasus kematian Herman membuat lima polisi divonis bersalah dengan hukuman tiga tahun penjara, dan seorang polisi divonis satu tahun penjara. Tiga di antara mereka mengajukan banding.
Pegiat kesenian Sumbar, Ganti Akmal tewas saat penangkapan
Ganti Akmal menghembuskan napas terakhir setelah kepalanya dipukuli dengan balok. LBH Padang melaporkan mayat pria yang dituduh polisi melakukan eksploitasi sekual anak ini penuh dengan luka. Luka lebam di kepala dan wajah, pergelangan tangan diduga patah, pendarahan di telinga dan luka memar di kepala.
Kasusnya sempat dihentikan Polda Sumbar karena "tidak cukup bukti”, tapi pengadilan memutuskan sebaliknya: lanjutkan penyelidikan. Dalam proses rekonstruksi, seorang anggota polisi berinisial HA disebut mengakui memukul kepala korban.
Cerita diduga disiksa agar mengaku sebagai pelaku kejahatan ‘klitih’
Sejumlah pria mengaku mendapat penyiksaan oleh anggota polisi di Yogyakarta agar mengaku sebagai pelaku kejahatan jalanan ‘klitih’ atau pembegalan.
“Saya ditangkap jam 12.30, lalu [mata] saya diplester, lalu dipukuli sampai pagi,” kata seorang pria yang sudah ditetapkan sebagai terdakwa. Ia mengeklaim dipaksa mengaku kesalahan yang tak dia lakukan.
Terdakwa lain mengaku dipukul bagian perut dan dada, dan ditodong senjata api agar mengaku sebagai pelaku pembunuhan.
Namun, putusan pengadilan berkata lain. PN Yogyakarta memutus keduanya bersalah dan divonis enam tahun penjara. Pihak pengacara mengajukan banding, karena yakin kedua kliennya tidak terlibat kasus pembunuhan itu.
Baca juga: Napi Anak Tewas Usai Disiksa, Polisi Datangi Lapas Masgar Lampung
Berdasarkan catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) periode Januari – Juni 2024 terdapat 308 peristiwa kekerasan yang diduga dilakukan anggota polisi meliputi penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, extrajudicial killing, dan pelanggaran-pelanggaran lainnya. Angka ini menunjukkan setiap harinya lembaga ini mencatat dua kasus.
Dalam tiga tahun terakhir lembaga ini juga melaporkan ratusan kasus dugaan kekerasan oleh anggota polisi, yaitu 2021 (651 kasus), 2022 (677 kasus), dan 2023 (622 kasus).
“Masih tingginya angka-angka kekerasan atau penyiksaan ini kami tengarai oleh beberapa faktor di antaranya masih dinormalisasinya atau masih kentalnya budaya kekerasan di institusi kepolisian yang pada akhirnya budaya tersebut juga terbawa ke ranah-ranah sipil,” kata Staf Divisi Hukum KontraS, Muhammad Yahya Ihyaroza.
Faktor lainnya, tambah Yahya, adalah minimnya pengawasan lembaga internal maupun juga eksternal dari kepolisian. Lantaran minim pengawasan, penyalahgunaan wewenang anggota polisi masih marak.
Baca juga: Dituduh Edarkan Narkoba, Petugas Kebersihan di Palembang Diborgol dan Dipukuli Polisi hingga Pingsan
“Dan yang terakhir, pun jika mereka atau para pelaku tindak pelanggaran tersebut diadili, mereka hanya mendapatkan sanksi ringan atau hukuman pidana ringan yang tidak menimbulkan efek jera yang pada akhirnya hal tersebut melanggarkan praktik-praktik impunitas,” katanya.
“Sehingga penggunaan body camera tersebut merupakan bentuk pengawasan sekaligus pertanggungjawaban profesionalitas anggota,” katanya.
Pengamat kepolisian, Bambang Rukminto ikut menimpali. Bukan hanya, pemasangan kamera pada polisi yang bertugas, tapi setiap ruang interogasi perlu dilengkapi kamera pengawas.
“Seharusnya pemeriksaan itu harus dalam ruang interogasi yang juga dikontrol oleh, sekarang ada teknologi CCTV misalnya, sehingga hal-hal itu tidak lagi dilakukan,” katanya.
BBC News Indonesia telah menghubungi Kadiv Humas Polri, Sandi Nugroho untuk meminta komentar. Namun, sampai berita ini diturunkan, belum mendapat respons.
Kembali kepada Anggun Anggraini yang baru saja kehilangan putranya. Ia akan terus berjuang untuk mendapat keadilan keadilan atas kematian Afif Maulana. “Harapan [pelakunya] hukum mati, dipecat. Baru itu obat luka [hati] ini,” katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.