KOMPAS.com - Kematian Afif Maulana, bocah 13 tahun di Padang, Sumatra Barat telah membetot perhatian publik, termasuk sejumlah lembaga negara. Seperti apa kejanggalan di balik kematian siswa SMP tersebut, dan bagaimana kronologinya?
Kepolisian membantah Afif disiksa anggota polisi sebelum meninggal di tengah pemeriksaan 39 personil yang terlibat dalam insiden pembubaran tawuran. Namun, hal ini bertolak belakang dari sikap tim advokat LBH Padang dan pihak keluarga korban yang meyakini Afif mengalami penyiksaan sebelum meninggal.
KontraS mencatat kasus kekerasan dan penyiksaan oleh anggota polisi tidak bergeming dalam tiga tahun terakhir, mencapai 600-an kasus. Menurut mereka, hal ini dikarenakan budaya kekerasan di kepolisian termanifestasi dalam tugas-tugas polisi di lapangan, termasuk pengawasan yang lemah.
Baca juga: Kronologi dan Kejanggalan Kematian Afif Maulana Menurut LBH Padang
Kasus dugaan penyiksaan oleh anggota polisi yang berulang juga telah mendorong wacana menempelkan kamera pada personil kepolisian saat menjalani tugas.
Anggun Anggraini, 32 tahun, tak kuasa menahan bulir air mata saat foto jenazah putranya ditampilkan dalam konferensi pers yang diselenggarakan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Senin (24/06).
Dari foto yang ditampilkan, terdapat luka lebam di hampir sekujur tubuh putra sulungnya, Afif Maulana, 13 tahun. Luka yang merah membiru itu terdapat di bagian punggung dan rusuk kiri bagian belakang. Bagian depan jenazah juga terdapat lebam yang sama pada perut bagian kiri dan tulang rusuk.
“Dekat perut yang hijau. Kayak jejak sepatu. Jejak sepatu ditendang. Terus tangan ini kan di sini habis kena kayak pukul… Terus ada di bagian belakang sini. Itu menguatkan keluarga bahwa ada tindak penyiksaan,“ kata Anggun kepada wartawan Halbert Chaniago yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Baca juga: LBH Padang Duga Saksi Kunci Kematian Siswa SMP di Sungai Telah Diintimidasi
“Anak Anggun sekecil itu nggak mungkin dia tawuran. Dia saja pulang sekolah di rumah. Lebih banyak dia di kamar,” ucap Anggun sambil berusaha menahan air matanya.
Konferensi pers yang diselenggarakan LBH Padang ini sebagai respons pernyataan kepolisian Sumatra Barat. Pihak Polda Sumbar menyebut tidak ada saksi mata yang melihat Afif disiksa oleh anggota polisi, serta kemungkinan Afif melompat dari jembatan.
“Ingat Polda Sumbar, di tubuh Afif itu ada kekerasan. Ada kekerasan. Itu tidak bisa dibohongi. Di situ ada kekerasan dan Anda harus cari. Penyidik, Anda harus cari siapa, apa yang menyebabkan kekerasan itu muncul di tubuh anak kami, Afif Maulana,” kata Direktur LBH Padang, Indira Suryani dengan suara bergetar.
Baca juga: LBH Padang Minta Kapolri Ambil Alih Kasus Kematian Siswa SMP di Sungai
Indira meyakini beberapa luka di tubuh Afif merupakan “fakta meyakinkan” bukti terjadi penyiksaan.
Selain itu, LBH Padang juga mengklaim telah mendengarkan kesaksian dari tujuh korban lainnya (lima berstatus anak dan dua berusia 18 tahun) yang ditangkap polisi pada hari kejadian.
Dari keterangan mereka, Indira mengatakan anggota polisi diduga melakukan penyiksaan dengan berbagai cara termasuk mencambuk, menyetrum, memukul dengan rotan, sampai menyundut rokok kepada korban saksi.
BBC News Indonesia juga melihat foto-foto bagian tubuh korban-korban saksi yang ditampilkan oleh LBH Padang. Dari foto tersebut terdapat bekas luka yang diduga terkena sabetan keras, sundutan rokok berkali-kali, dan luka di lutut karena diduga terjatuh dari motor.
“Yang berikutnya, justru yang mungkin menguatkan (keyakinan) kami, respons Polda yang kemudian menurut kami kontraproduktif dan memburu orang-orang yang memviralkan, itu menjadi sebuah pertanyaan bagi kami. Semakin menguatkan kami bahwa ada sesuatu yang sangat salah di situ,” tambah Indira.
Baca juga: Beda Pendapat LBH Padang dan Polda Sumbar soal Penyebab Pelajar 13 Tahun Meninggal di Padang
Hal ini merujuk pada pernyataan Kapolda Sumbar, Suharyono yang mengatakan akan memburu pihak-pihak yang memviralkan kematian Afif Maulana karena dugaan disiksa polisi.
Selain itu, kejanggalan lain yang ditemukan LBH Padang adalah ketika pihak keluarga tidak diizinkan untuk mengikuti pemeriksaan jasad korban, serta CCTV di dekat lokasi kejadian dilaporkan tidak berfungsi.
“Semoga justice for Afif benar-benar terwujud di Indonesia ini,” kata Indira.
“Ya itu luka-lukanya itu lecet-lecet. Kemungkinan dia waktu terjatuh di bawah itu kan, kan kita nggak tahu. Apakah korban ini jatuhnya langsung meninggal, apa langsung merayap-merayap, minta tolong. Kan kita nggak tahu,” katanya.
Dwi Sulistyawan menambahkan, Afif tidak ditangkap polisi. "Yang lain diamankan cuma 18 dari kurang lebih 40 orang. Jadi kejadiannya cepat,” katanya.
Saat dikonfirmasi terkait dengan tujuh saksi yang memberi laporan pada LBH Padang mengenai dugaan penyiksaan selama proses penahanan, Dwi Sulistyawan mengatakan belum menemukan indikasinya.
Dwi menambahkan, sejauh ini divisi profesi dan pengamanan (propam) masih memeriksa 39 anggota polisi yang diduga terlibat dalam insiden ini. "39, ya masih diperiksa,” katanya.
Minggu, 09 Juni 2024
Pukul 04.00 WIB – Afif sedang berboncengan sepeda motor dengan rekannya berinsial A, menuju utara.
Afif dan rekannya ditendang anggota Sabhara Polda Sumbar menggunakan motor dinas berjenis KLX. Saat terpelanting, Afif berjarak dua meter dengan rekannya A.
Korban A sempat melihat Afif berdiri dan dikelilingi anggota polisi yang memegang rotan. Hingga saat itu, korban A tidak pernah lagi melihat Afif.
Pukul 10.00 WIB – A dan korban-korban lainnya dibolehkan pulang ke rumah masing-masing dari Polda Sumbar, dengan perjanjian tidak melakukan kesalahan yang sama (berdasarkan keterangan polisi diduga mereka yang ditangkap karena merencanakan tawuran).
Pukul 11.55 WIB – Warga menemukan mayat di bawah jembatan aliran Batang Kuranji, Jalan By Pass KM 9, Kelurahan Pasar Ambacang, Kecamatan Kuranji, Kota Padang. Mayat tersebut diidentifikasi sebagai Afif Maulana. Dari jenazahnya terdapat sejumlah luka.
Jenazah Afif dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara untuk dilakukan pemeriksaan.
Senin, 10 Juni 2024
Keluarga korban menerima salinan sertifikat kematian Nomor: SK/34/VI/2024/ dari Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sumbar. Namun, pemeriksaan jenazah belum menentukan kematian tidak wajar yang dialami Afif.
Di sisi lain, keluarga korban mendapatkan informasi dari seorang anggota Polres Kota Padang, bahwa korban Afif meninggal akibat tulang rusuk patah enam buah dan robek dibagian paru-paru 11 sentimeter. Orang tua Afif membuat laporan polisi ke Polresta Padang dengan Nomor: LP/B/409/VI/2024/SPKT/POLRESTA PADANG/POLDA SUMATERA BARAT.
Baca juga: KPAI Desak Polisi Transparan Dalam Kasus Kematian Pelajar 13 Tahun di Padang
Minggu, 09 Juni 2024
Pukul 03.00 WIB – Ada rombongan anak-anak muda konvoi melintasi Jembatan Kuranji. Di situ terlihat membawa berbagai macam senjata tajam.
Saat rekan Afif yaitu A ditangkap - ia sempat mendengar kalimat dari Afif yang isinya mengajak A untuk melompat.
Samapta Polda Sumbar mengamankan 18 orang ke Polsek Kuranji. Tidak ada nama Afif Maulana di situ.
Dari 18 orang yang ditangkap, yang terbukti membawa senjata tajam satu orang. Ini sedang diproses. 17 orang kemudian dikembalikan lagi ke keluarganya.
Polisi menemukan senjata-senjata lain berserakan di lokasi, "sehingga tidak bisa diketahui siapa pemilknya," kata Wakil Kepala Kepolisian Resor Kota Padang AKBP Rully Indra Wijayanto.
Baca juga: Pelajar 13 Tahun di Padang Diduga Tewas Dianiaya Polisi, Komnas HAM Bakal Turun Tangan
Siang
Kepolisian mendapat laporan masyarakat adanya sesosok mayat anak-anak yang belum diketahui identitasnya. Belakangan diketahui mayat tersebut adalah Afif Maulana.
Dalam satu keterangan kepada media, Kapolda Sumbar, Irjen Pol Suharyono menduga Afif Maulana terjun dari jembatan saat ada pengamanan aksi tawuran. Hal itu berdasarkan keterangan dari A, rekan memboncengi Afif.
"Masuk ke sungai ini sudah ada keterangan dari A. Bahwa memang AM (Afif Maulana) ini sudah berencana akan masuk ke sungai menceburkan diri ke sungai," kata Suharyono
“Bagaimana publik bisa mempercayainya bila yang menyampaikan pernyataan adalah pihak yang diduga melakukan penganiayaan dan menjadi penyebab kematian atau penyebab AM (Afif Maulana) melompat ke sungai?” katanya bertanya-tanya.
Selama masih dalam proses penyelidikan atas kematian Afuf, ia berharap kepolisian tidak mengambil kesimpulan cepat.
“Kasus seperti itu sudah seringkali terjadi, dan korban meninggal menjadi double victim dengan pernyataan tersebut, bila tidak benar.”
Baca juga: Ungkap Penyebab Kematian Pelajar SMP Padang di Sungai, Polisi Tunggu Hasil Otopsi
“Makanya perlu pihak independen untuk melakukan penyelidikan dan klarifikasi bahwa kejadian yang disampaikan oleh kepolisian tersebut benar atau salah,” kata Bambang.
Di sisi lain, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) bersama lembaga negara lainnya "berkolaborasi" untuk memantau proses penyelidikan kasus kematian Afif.
Mereka yang terlibat di dalamnya adalah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Ombudsman, termasuk LBH Padang.
“Semua komisi negara setuju untuk kolaborasi dalam penanganan kasus anak korban,” kata anggota Kompolnas, Poengky Indarti dalam keterangan kepada BBC News Indonesia, Senin (24/06).
Dalam hal ini, baik Kompolnas, KPAI, LPSK, Ombudsman, dan LBH Padang berencana memantau langsung gelar perkara kematian Afif di Polda Sumbar – meskipun waktunya belum diputuskan.
Baca juga: Siswa SMP Tewas Diduga Dianiaya Polisi di Padang, Saksi Sempat Lihat Korban Ditendang
“Tentunya setelah hasil autopsi keluar,” tambah Poengky.
Sejauh ini, Kompolnas mengeklaim telah mengirim surat permintaan klarifikasi ke Polda Sumatra Barat. Poengky Indarti mengatakan, pihaknya mendorong “pemeriksaan profesional dan komprehensif dengan dukungan scentific crime investigation (penyelidikan dengan bukti ilmiah)”.
Kompolnas merekomendasikan proses pidana dengan pemberatan hukuman, sidang etik dan pemecatan bagi anggota polisi yang terbukti melakukan penyiksaan dan mengakibatkan Afif meninggal.
“Jika benar anggota melakukan penyiksaan yang berakibat hilangnya nyawa anak korban, maka hal tersebut masuk kategori pelanggaran hak asasi manusia. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan ke dalam UU Anti Penyiksaan, sehingga praktek penyiksaan harus dihapuskan (zero tolerance against torture),” tambah Poengky.
Baca juga: Pelajar di Padang Diduga Jadi Korban Penganiayaan Polisi hingga Meninggal, KPAI Desak Polri Berbenah
Sebaliknya, jika tidak terbukti, maka penyelidik kepolisian harus mencari tahu penyebab Afif meninggal dunia dengan didukung bukti-bukti ilmiah. “Sehingga tidak menimbulkan pertanyaan publik,” katanya.
Lembaga yang bertugas memberi arah kebijakan kepolisian pada presiden ini juga mendorong tindaklanjut pemeriksaan kepada anggota polisi yang diduga menyiksa beberapa saksi yang berstatus anak.
“Upaya penertiban harus dilakukan secara humanis dan tidak menggunakan kekerasan berlebihan, apa lagi terhadap anak-anak,” tambah Poengky.
"Kepolisian juga harus memahami bahwa kenakalan remaja bisa jadi juga merupakan produk lingkungan sosial. Makanya semangat humanis kepolisian harusnya tetap mengedepankan empati pada terduga anak-anak pelaku tidak tertib sosial,” katanya.
Bagaimanapun, dugaan penyiksaan terhadap Afif di Padang ini menambah daftar panjang tuduhan terhadap polisi yang kurang profesional dalam menjalankan tugasnya. BBC News Indonesia merangkum sejumlah kasus dugaan penyiksaan oleh anggota polisi yang sempat menjadi perhatian publik.
Cerita Saka Tatal disiksa dalam kasus pembunuhan Vina Cirebon.
Saka Tatal salah satu mantan narapidana kasus pembunuhan Vina Cirebon belum lama ini mengaku mendapat pukulan, setruman, dan paksaan oleh polisi agar mau mengaku bersalah dalam proses hukumnya.
Ia mengatakan sebagai “korban salah tangkap” dan menyatakan "tidak ada di tempat kejadian”. Kasusnya sudah diaporkan ke Komnas HAM dan Komisi Yudisial pada 2016 – saat ini kembali diperiksa Komnas HAM.
Terakhir, Saka mengutarakan kasusnya dalam saluran YouTube pesohor Uya Kuya. "Di badan diinjak-injak, dipukuli, kepala saya diadu dengan gembok panjang sampai bocor.”
Polisi menangkis narasi ini dengan menyebut Saka Tatal cenderung berbohong saat diperiksa penyidik enam tahun silam.
Pria di Bekasi diduga disiksa agar mengaku sebagai begal
Seorang pria berusia pertengahan 20 tahun mengaku digebuki hingga delapan jam oleh lima polisi. Ia bersama tiga kawannya dipaksa mengaku sebagai begal pada 2021.
Lukman – bukan nama sebenarnya – diputus bebas dan tidak bersalah dalam putusan banding, setelah sembilan bulan mendekam dipenjara.
Herman tewas disiksa selama dalam tahanan
Kasus yang pernah mencuat adalah kematian Herman di Balikpapan, Kalimantan Timur pada 2020 dan Deki Susanto di Solok Selatan, Sumatra Barat pada 2021.
Herman tewas disiksa selama dalam tahanan setelah dituduh mencuri telepon genggam, sementara Deki kepalanya pecah dihantam timah panas saat hendak ditangkap karena dituduh terlibat judi.
Perkara pidana apa yang disebut sebagai extrajudicial killing terhadap Deki Susanto melibatkan enam polisi terperiksa, dan salah satunya dijadikan tersangka.
Lalu, kasus kematian Herman membuat lima polisi divonis bersalah dengan hukuman tiga tahun penjara, dan seorang polisi divonis satu tahun penjara. Tiga di antara mereka mengajukan banding.
Pegiat kesenian Sumbar, Ganti Akmal tewas saat penangkapan
Ganti Akmal menghembuskan napas terakhir setelah kepalanya dipukuli dengan balok. LBH Padang melaporkan mayat pria yang dituduh polisi melakukan eksploitasi sekual anak ini penuh dengan luka. Luka lebam di kepala dan wajah, pergelangan tangan diduga patah, pendarahan di telinga dan luka memar di kepala.
Kasusnya sempat dihentikan Polda Sumbar karena "tidak cukup bukti”, tapi pengadilan memutuskan sebaliknya: lanjutkan penyelidikan. Dalam proses rekonstruksi, seorang anggota polisi berinisial HA disebut mengakui memukul kepala korban.
Cerita diduga disiksa agar mengaku sebagai pelaku kejahatan ‘klitih’
Sejumlah pria mengaku mendapat penyiksaan oleh anggota polisi di Yogyakarta agar mengaku sebagai pelaku kejahatan jalanan ‘klitih’ atau pembegalan.
“Saya ditangkap jam 12.30, lalu [mata] saya diplester, lalu dipukuli sampai pagi,” kata seorang pria yang sudah ditetapkan sebagai terdakwa. Ia mengeklaim dipaksa mengaku kesalahan yang tak dia lakukan.
Terdakwa lain mengaku dipukul bagian perut dan dada, dan ditodong senjata api agar mengaku sebagai pelaku pembunuhan.
Namun, putusan pengadilan berkata lain. PN Yogyakarta memutus keduanya bersalah dan divonis enam tahun penjara. Pihak pengacara mengajukan banding, karena yakin kedua kliennya tidak terlibat kasus pembunuhan itu.
Baca juga: Napi Anak Tewas Usai Disiksa, Polisi Datangi Lapas Masgar Lampung
Dalam tiga tahun terakhir lembaga ini juga melaporkan ratusan kasus dugaan kekerasan oleh anggota polisi, yaitu 2021 (651 kasus), 2022 (677 kasus), dan 2023 (622 kasus).
“Masih tingginya angka-angka kekerasan atau penyiksaan ini kami tengarai oleh beberapa faktor di antaranya masih dinormalisasinya atau masih kentalnya budaya kekerasan di institusi kepolisian yang pada akhirnya budaya tersebut juga terbawa ke ranah-ranah sipil,” kata Staf Divisi Hukum KontraS, Muhammad Yahya Ihyaroza.
Faktor lainnya, tambah Yahya, adalah minimnya pengawasan lembaga internal maupun juga eksternal dari kepolisian. Lantaran minim pengawasan, penyalahgunaan wewenang anggota polisi masih marak.
Baca juga: Dituduh Edarkan Narkoba, Petugas Kebersihan di Palembang Diborgol dan Dipukuli Polisi hingga Pingsan
“Dan yang terakhir, pun jika mereka atau para pelaku tindak pelanggaran tersebut diadili, mereka hanya mendapatkan sanksi ringan atau hukuman pidana ringan yang tidak menimbulkan efek jera yang pada akhirnya hal tersebut melanggarkan praktik-praktik impunitas,” katanya.
“Sehingga penggunaan body camera tersebut merupakan bentuk pengawasan sekaligus pertanggungjawaban profesionalitas anggota,” katanya.
Pengamat kepolisian, Bambang Rukminto ikut menimpali. Bukan hanya, pemasangan kamera pada polisi yang bertugas, tapi setiap ruang interogasi perlu dilengkapi kamera pengawas.
“Seharusnya pemeriksaan itu harus dalam ruang interogasi yang juga dikontrol oleh, sekarang ada teknologi CCTV misalnya, sehingga hal-hal itu tidak lagi dilakukan,” katanya.
BBC News Indonesia telah menghubungi Kadiv Humas Polri, Sandi Nugroho untuk meminta komentar. Namun, sampai berita ini diturunkan, belum mendapat respons.
Kembali kepada Anggun Anggraini yang baru saja kehilangan putranya. Ia akan terus berjuang untuk mendapat keadilan keadilan atas kematian Afif Maulana. “Harapan [pelakunya] hukum mati, dipecat. Baru itu obat luka [hati] ini,” katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.