Keluarga korban menerima salinan sertifikat kematian Nomor: SK/34/VI/2024/ dari Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sumbar. Namun, pemeriksaan jenazah belum menentukan kematian tidak wajar yang dialami Afif.
Di sisi lain, keluarga korban mendapatkan informasi dari seorang anggota Polres Kota Padang, bahwa korban Afif meninggal akibat tulang rusuk patah enam buah dan robek dibagian paru-paru 11 sentimeter. Orang tua Afif membuat laporan polisi ke Polresta Padang dengan Nomor: LP/B/409/VI/2024/SPKT/POLRESTA PADANG/POLDA SUMATERA BARAT.
Baca juga: KPAI Desak Polisi Transparan Dalam Kasus Kematian Pelajar 13 Tahun di Padang
Minggu, 09 Juni 2024
Pukul 03.00 WIB – Ada rombongan anak-anak muda konvoi melintasi Jembatan Kuranji. Di situ terlihat membawa berbagai macam senjata tajam.
Saat rekan Afif yaitu A ditangkap - ia sempat mendengar kalimat dari Afif yang isinya mengajak A untuk melompat.
Samapta Polda Sumbar mengamankan 18 orang ke Polsek Kuranji. Tidak ada nama Afif Maulana di situ.
Dari 18 orang yang ditangkap, yang terbukti membawa senjata tajam satu orang. Ini sedang diproses. 17 orang kemudian dikembalikan lagi ke keluarganya.
Polisi menemukan senjata-senjata lain berserakan di lokasi, "sehingga tidak bisa diketahui siapa pemilknya," kata Wakil Kepala Kepolisian Resor Kota Padang AKBP Rully Indra Wijayanto.
Baca juga: Pelajar 13 Tahun di Padang Diduga Tewas Dianiaya Polisi, Komnas HAM Bakal Turun Tangan
Siang
Kepolisian mendapat laporan masyarakat adanya sesosok mayat anak-anak yang belum diketahui identitasnya. Belakangan diketahui mayat tersebut adalah Afif Maulana.
Dalam satu keterangan kepada media, Kapolda Sumbar, Irjen Pol Suharyono menduga Afif Maulana terjun dari jembatan saat ada pengamanan aksi tawuran. Hal itu berdasarkan keterangan dari A, rekan memboncengi Afif.
"Masuk ke sungai ini sudah ada keterangan dari A. Bahwa memang AM (Afif Maulana) ini sudah berencana akan masuk ke sungai menceburkan diri ke sungai," kata Suharyono
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto menilai publik akan sulit percaya dengan keterangan polisi karena adanya konflik kepentingan di dalamnya.
“Bagaimana publik bisa mempercayainya bila yang menyampaikan pernyataan adalah pihak yang diduga melakukan penganiayaan dan menjadi penyebab kematian atau penyebab AM (Afif Maulana) melompat ke sungai?” katanya bertanya-tanya.
Selama masih dalam proses penyelidikan atas kematian Afuf, ia berharap kepolisian tidak mengambil kesimpulan cepat.
“Kasus seperti itu sudah seringkali terjadi, dan korban meninggal menjadi double victim dengan pernyataan tersebut, bila tidak benar.”
Baca juga: Ungkap Penyebab Kematian Pelajar SMP Padang di Sungai, Polisi Tunggu Hasil Otopsi
“Makanya perlu pihak independen untuk melakukan penyelidikan dan klarifikasi bahwa kejadian yang disampaikan oleh kepolisian tersebut benar atau salah,” kata Bambang.
Di sisi lain, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) bersama lembaga negara lainnya "berkolaborasi" untuk memantau proses penyelidikan kasus kematian Afif.
Mereka yang terlibat di dalamnya adalah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Ombudsman, termasuk LBH Padang.
“Semua komisi negara setuju untuk kolaborasi dalam penanganan kasus anak korban,” kata anggota Kompolnas, Poengky Indarti dalam keterangan kepada BBC News Indonesia, Senin (24/06).
Dalam hal ini, baik Kompolnas, KPAI, LPSK, Ombudsman, dan LBH Padang berencana memantau langsung gelar perkara kematian Afif di Polda Sumbar – meskipun waktunya belum diputuskan.
Baca juga: Siswa SMP Tewas Diduga Dianiaya Polisi di Padang, Saksi Sempat Lihat Korban Ditendang
“Tentunya setelah hasil autopsi keluar,” tambah Poengky.
Sejauh ini, Kompolnas mengeklaim telah mengirim surat permintaan klarifikasi ke Polda Sumatra Barat. Poengky Indarti mengatakan, pihaknya mendorong “pemeriksaan profesional dan komprehensif dengan dukungan scentific crime investigation (penyelidikan dengan bukti ilmiah)”.
Kompolnas merekomendasikan proses pidana dengan pemberatan hukuman, sidang etik dan pemecatan bagi anggota polisi yang terbukti melakukan penyiksaan dan mengakibatkan Afif meninggal.
“Jika benar anggota melakukan penyiksaan yang berakibat hilangnya nyawa anak korban, maka hal tersebut masuk kategori pelanggaran hak asasi manusia. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan ke dalam UU Anti Penyiksaan, sehingga praktek penyiksaan harus dihapuskan (zero tolerance against torture),” tambah Poengky.
Baca juga: Pelajar di Padang Diduga Jadi Korban Penganiayaan Polisi hingga Meninggal, KPAI Desak Polri Berbenah
Sebaliknya, jika tidak terbukti, maka penyelidik kepolisian harus mencari tahu penyebab Afif meninggal dunia dengan didukung bukti-bukti ilmiah. “Sehingga tidak menimbulkan pertanyaan publik,” katanya.
Lembaga yang bertugas memberi arah kebijakan kepolisian pada presiden ini juga mendorong tindaklanjut pemeriksaan kepada anggota polisi yang diduga menyiksa beberapa saksi yang berstatus anak.
“Upaya penertiban harus dilakukan secara humanis dan tidak menggunakan kekerasan berlebihan, apa lagi terhadap anak-anak,” tambah Poengky.
"Kepolisian juga harus memahami bahwa kenakalan remaja bisa jadi juga merupakan produk lingkungan sosial. Makanya semangat humanis kepolisian harusnya tetap mengedepankan empati pada terduga anak-anak pelaku tidak tertib sosial,” katanya.
Bagaimanapun, dugaan penyiksaan terhadap Afif di Padang ini menambah daftar panjang tuduhan terhadap polisi yang kurang profesional dalam menjalankan tugasnya. BBC News Indonesia merangkum sejumlah kasus dugaan penyiksaan oleh anggota polisi yang sempat menjadi perhatian publik.
Cerita Saka Tatal disiksa dalam kasus pembunuhan Vina Cirebon.