Ucapan Ismet bak menjadi kenyataan, pada 2020 terjadi pandemi. Meskipun sudah menghantam dunia dan masuk ke Indonesia pada awal tahun itu, pandemi belum menyentuh masyarakat Jambi.
"Awal-awal Jambi belum booming pandemi. Saya masih sempat tur Ngota Mozaik bicara musik, kopi dan film yang keliling 11 kabupaten kota di Provinsi Jambi," kata Ismet lagi.
Namun setelah pandemi pada puncaknya di Jambi pada 2021, ia mengalami ujian yang berat. Pasalnya untuk bertahan hidup dia harus menjual studio dan peralatan musik, bahkan AC.
"Pahit sekali, semua tabungan terkuras tidak boleh manggung dan buka warung. Saya sempat ngamen ke restoran atau rumah makan yang buka. Itu hasilnya pun cuma cukup buat makan," kata dia.
Setahun berselang pandemi mereda, ia pun melanjutkan tur ke Pulau Jawa dengan tajuk Suara dari Sumatera.
Ia keliling ke Jakarta, Depok, Bogor, dan Bandung selama 15 hari naik bis. Biayanya sama, donasi dari kawan-kawan ketika manggung di kota-kota tersebut.
Selama 21 tahun berkesenian, Ismet tak pernah menerima atau meminta bantuan dari pemerintah.
Dia khawatir jika meminta bantuan dan menerima dari Pemerintah, karyanya akan disensor atau diatur bahkan dilarang mengkritik penguasa.
Baca juga: Bercerita tentang Baduy Masa Kini Lewat Musik
"Saya sebagai seniman kenapa harus minta ke Pemerintah, seharusnya mereka yang kasih penghargaan, apresiasi, dan bantu. Kalau minta nanti bisa diatur-atur, itu saya tidak mau," kata dia.
Kendati demikian, Ismet tetap menerima panggilan job dari Pemerintah, misalnya tampil di acara paripurna di DPRD. Sebab, dengan begitu dia dapat menyampaikan langsung "kemarahan" pada kekeliruan kebijakan kepada pemangku kebijakan.
"Pernah lagu-lagu dicoret dari list yang ditampilkan karena dianggap terlalu kritis tentang kerusakan lingkungan yang ada di Jambi," kata Ismet.
Ismet mengaku membuat lagu kritis dan perlawanan adalah panggilan jiwa. Setelah melihat realita dan fakta-fakta yang dialami dan rasakan serta berdampak langsung dengan nasib banyak orang.
Tahun ini, Ismet kembali menggagas back to home (BTH) bicara musik, lingkungan, budaya lokal dan kearifan gotong royong untuk diskusi dengan pengambil kebijakan di 11 kabupaten/kota dan komunitas-komunitas.
"Itu sudah dilakukan di Muaro Jambi, Batanghari, dan Sarolangun. Tapi di Kerinci dan Sungaipenuh gagal, karena kawan-kawan tidak siap dengan segala risiko," kata dia.
Ia merasa kecewa dengan komunitas yang berada di paling barat Jambi itu, karena tidak memiliki kesiapan yang matang.
Baca juga: Membaca Naskah Bujangga Manik Lewat Musik
Namun pertunjukkan seni tetap akan lanjut di daerah lain yakni Merangin, Bungo, Tebo, Tanjab Timur, Tanjab Barat, dan puncaknya di Kota Jambi.
Agenda lain ingin mendorong Pemerintah peduli terhadap Sungai Batanghari yang rusak berat karena terpapar merkuri, limbah, pestisida, sedimentasi, mikroplastik.
Ia pun telah berkoalisi dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jambi, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Jambi, dan KKI Warsi untuk menggugat Pemerintah.
"Kami mau gugat Pemerintah untuk selamatkan Sungai Batanghari. Karena sungai ini urat nadi peradaban, bukan tempat kebiadaban," sebut dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.