Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat "Perlawanan" Ismet Raja Tengah Malam Lewat Jalur Kesenian

Kompas.com - 24/06/2024, 06:37 WIB
Suwandi,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

JAMBI, KOMPAS.com - Ketika sinar mentari berada di atas kepala, empat mobil berisi 6-8 polisi mendatangi rumah Ismet Raja Tengah Malam. Mereka ingin mencari klarifikasi soal tudingan gerakan garis keras yang dikenakan pada Ismet.

"Saya dicap merah hitam (anarko) gerakan perlawanan garis keras. Polisi itu datang ke rumah untuk mengklarifikasi," kata Ismet Raja di Kedai Rambu House, Jambi, Minggu malam (23/6/2024).

Hari itu, dia mengira akan ditangkap terkait tuduhan tersebut. Namun, setelah beberapa jam pembicaraan, para polisi itu pun beranjak pergi.

Menurut Ismet, tuduhan tersebut memang tak berdasar. Ia menjalani hidup sebagai seniman karena pilihan, agar bisa menyuarakan kelompok tertindas.

"Seniman adalah orang yang berdoa dua kali. Pertama ketika beribadah dengan Tuhan, kedua saat dia melahirkan karya-karya. Itu semua doa untuk kebaikan alam raya," kata lelaki yang lahir 9 September 1983 ini.

Baca juga: Dosen Unair Beberkan Manfaat Psikoterapi lewat Musik

Jalan sunyi yang ditempuh Ismet Raja Tengah Malam sudah dimulai sejak 2004, dari musik aliran punk, musik pergerakan dari jalanan.

Dalam perjalanannya membuat band Blockhead berjalan selama dua tahun. Kemudian membuat band baru namanya Biangkerok.

Lalu, lantaran sering dicap negatif oleh Pemerintah, dia akhirnya kembali berganti nama yakni BiangRaw.

Biangraw sudah punya album dan pernah melakoni tur Sumatera, yakni ke Kota Tembilahan, Pekanbaru, Padang, Dharmasraya, dan Jambi.

"Ketika tur terakhir di Jambi dibubarkan oleh Pemerintah Kota dalam wujud Satpol PP, padahal kegiatannya sosial membersihkan ikon Tugu Juang bersama kawan-kawan komunitas di Sumatera," kata lelaki berusia 41 tahun itu.

Alasan pembubaran, katanya Pemerintah memandang aliran dan penggemar musiknya orang-orang yang berpotensi meresahkan masyarakat.

Kendati pernah dibubarkan ketika manggung, Ismet tak patah arang. Pilihan hidupnya adalah musik.

"Musik media paling universal untuk menyuarakan persoalan sosial, kerusakan lingkungan, korupsi, kelompok miskin kota, buruh, petani dan nelayan. Bahkan masyarakat adat Orang Rimba," kata Ismet.

Melalui musik dia ingin mendorong gerakan masyarakat yang lebih luas, untuk peduli dengan lingkungan dan segala persoalannya.

Hilangkan stigma

Setelah puas menelan pahitnya stigma negatif, Ismet Raja Tengah Malam mulai bersolo karir dan meninggal dunia band pada 2018.

Setelah menghilangkan stigma, pembungkaman yang dilakukan Pemerintah terhadapnya mulai mereda.

Baca juga: Introvert, Isyana Sarasvati Curhat Lewat Musik Saat Terpuruk

 

Meskipun -memang- ketika tampil di acara Pemerintah, ada beberapa karya yang dicoret dalam list lagu yang akan dibawakan.

"Tetap ada batasan, tapi tak sampai pembubaran. Dengan solo, saya lebih kritis terhadap masalah sosial dan kesenjangan," kata Ismet.

Karya seni yang diciptakan dapat mendorong orang dalam pergerakan terutama perjuangan hak asasi manusia, kaum buruh, kaum miskin kota, dan masyarakat minoritas Orang Rimba.

Meskipun sudah mulai diterima, aliran musik Ismet belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat umum, terutama Pemerintah yang menjadi sasaran kritik.

"Padahal tujuannya untuk saling mengingatkan persoalan yang ada berdasarkan fakta-fakta adanya perampasan tanah petani, buruh, nelayan dan kaum miskin kota kehilangan haknya," kata dia.

 

Siasat tetap bertahan

Ismet Raja Tengah Malam saat tampil pada acara Ngota Mozaik yang berbicara soal musik, kopi dan film di Kota Jambi awal 2020 laluDok Ismet Raja Tengah Malam Ismet Raja Tengah Malam saat tampil pada acara Ngota Mozaik yang berbicara soal musik, kopi dan film di Kota Jambi awal 2020 lalu
Ismet mengaku sebagai seniman idealis dan realistis yang berjalan dengan seimbang. Sebagian besar pendapatan untuk hidup diperoleh dari musik, manggung, dan musik jalanan (ngamen) apabila dalam kondisi terjepit.

Untuk menunjang aktivitas keseniannya, Ismet juga membuka kedai atau warung yang juga memberikan ruang bagi orang-orang untuk berdiskusi.

Apakah cukup berkesenian untuk hidup? "Saya menjadi orang yang bersyukur atas semua anugerah Tuhan. Jadi selalu ada jalan untuk kebutuhan anak dan isteri," kata Ismet.

Keliling Sumatera-Jawa

Demi menyebarkan kebaikan dan memperluas gerakan, Ismet menginisiasi project Folk Sumatera sekalian promo album Hijau dan Biru Ismet Raja Tengah Malam pada 2019.

"Kota yang dikunjungi itu Palembang, Bengkulu, Jambi, Kerinci, sarolangun, Padang, Medan, Banda Aceh dan Sabang," kata dia.

Baca juga: Lestarikan Budaya Borneo Lewat Musik

Pendanaan dari project Folk Sumatera berasal dari tabungan pribadi, patungan organisasi masyarakat sipil dan donasi dari kawan-kawan di lokasi manggung.

"Alhamdulillah setiap kota ada kawan-kawan berdonasi. Kesediaan tuan rumah sesuai kesanggupan dan kebanyakan di kafe kalau di Aceh di kampus," kata dia.

Selama sebulan keliling Sumatera, ia membawa pohon sebagai simbol satu pohon satu jiwa.

Pada lokasi manggung Ismet menanam pohon endemik Sumatera kayu Bulian atau kayu besi (Eusideroxylon zwageri) yang kini sudah sangat langka di hutan.

"Terakhir tanam pohon di Sabang," sambung Ismet.

Tur Ismet sesungguhnya bukan untuk mencari materi, tetapi ingin bertemu dengan orang-orang di luar kota, mendapat ide dan pikiran untuk menambah kekuatan dalam pergerakan.

"Dalam diskusi setiap kota, kami sudah bicarakan kalau bakal ada gejolak besar di dunia akibat dari kerusakan alam," kata Ismet.

 

Dilanda pandemi Covid-19

Ismet Raja Tengah Malam seniman musik saat tur keliling Sumatera dengan misi menanam pohon endemik kayu besi di Kota Sabang, Provinsi Aceh tahun 2019 laluDok Ismet Raja Tengah Malam Ismet Raja Tengah Malam seniman musik saat tur keliling Sumatera dengan misi menanam pohon endemik kayu besi di Kota Sabang, Provinsi Aceh tahun 2019 lalu
Ucapan Ismet bak menjadi kenyataan, pada 2020 terjadi pandemi. Meskipun sudah menghantam dunia dan masuk ke Indonesia pada awal tahun itu, pandemi belum menyentuh masyarakat Jambi.

"Awal-awal Jambi belum booming pandemi. Saya masih sempat tur Ngota Mozaik bicara musik, kopi dan film yang keliling 11 kabupaten kota di Provinsi Jambi," kata Ismet lagi.

Namun setelah pandemi pada puncaknya di Jambi pada 2021, ia mengalami ujian yang berat. Pasalnya untuk bertahan hidup dia harus menjual studio dan peralatan musik, bahkan AC.

"Pahit sekali, semua tabungan terkuras tidak boleh manggung dan buka warung. Saya sempat ngamen ke restoran atau rumah makan yang buka. Itu hasilnya pun cuma cukup buat makan," kata dia.

Setahun berselang pandemi mereda, ia pun melanjutkan tur ke Pulau Jawa dengan tajuk Suara dari Sumatera.

Ia keliling ke Jakarta, Depok, Bogor, dan Bandung selama 15 hari naik bis. Biayanya sama, donasi dari kawan-kawan ketika manggung di kota-kota tersebut.

Tanpa bantuan Pemerintah

Selama 21 tahun berkesenian, Ismet tak pernah menerima atau meminta bantuan dari pemerintah.

Dia khawatir jika meminta bantuan dan menerima dari Pemerintah, karyanya akan disensor atau diatur bahkan dilarang mengkritik penguasa.

Baca juga: Bercerita tentang Baduy Masa Kini Lewat Musik

"Saya sebagai seniman kenapa harus minta ke Pemerintah, seharusnya mereka yang kasih penghargaan, apresiasi, dan bantu. Kalau minta nanti bisa diatur-atur, itu saya tidak mau," kata dia.

Kendati demikian, Ismet tetap menerima panggilan job dari Pemerintah, misalnya tampil di acara paripurna di DPRD. Sebab, dengan begitu dia dapat menyampaikan langsung "kemarahan" pada kekeliruan kebijakan kepada pemangku kebijakan.

"Pernah lagu-lagu dicoret dari list yang ditampilkan karena dianggap terlalu kritis tentang kerusakan lingkungan yang ada di Jambi," kata Ismet.

Ismet mengaku membuat lagu kritis dan perlawanan adalah panggilan jiwa. Setelah melihat realita dan fakta-fakta yang dialami dan rasakan serta berdampak langsung dengan nasib banyak orang.

Tahun ini, Ismet kembali menggagas back to home (BTH) bicara musik, lingkungan, budaya lokal dan kearifan gotong royong untuk diskusi dengan pengambil kebijakan di 11 kabupaten/kota dan komunitas-komunitas.

"Itu sudah dilakukan di Muaro Jambi, Batanghari, dan Sarolangun. Tapi di Kerinci dan Sungaipenuh gagal, karena kawan-kawan tidak siap dengan segala risiko," kata dia.

Ia merasa kecewa dengan komunitas yang berada di paling barat Jambi itu, karena tidak memiliki kesiapan yang matang.

Baca juga: Membaca Naskah Bujangga Manik Lewat Musik

Namun pertunjukkan seni tetap akan lanjut di daerah lain yakni Merangin, Bungo, Tebo, Tanjab Timur, Tanjab Barat, dan puncaknya di Kota Jambi.

Agenda lain ingin mendorong Pemerintah peduli terhadap Sungai Batanghari yang rusak berat karena terpapar merkuri, limbah, pestisida, sedimentasi, mikroplastik.

Ia pun telah berkoalisi dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jambi, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Jambi, dan KKI Warsi untuk menggugat Pemerintah.

"Kami mau gugat Pemerintah untuk selamatkan Sungai Batanghari. Karena sungai ini urat nadi peradaban, bukan tempat kebiadaban," sebut dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

15 Kuliner Lontong Khas Nusantara yang Menggugah Selera

15 Kuliner Lontong Khas Nusantara yang Menggugah Selera

Regional
Menangkal Potensi Zoonosis Tuberkulosis pada Orang Rimba

Menangkal Potensi Zoonosis Tuberkulosis pada Orang Rimba

Regional
Komunitas Pemalang Bergerak Sulap Sampah Jadi 'Paving Block'

Komunitas Pemalang Bergerak Sulap Sampah Jadi "Paving Block"

Regional
Seorang Pria Ditemukan Tewas di Pondok Kebun Sawit Bangka Barat, Ada Luka Lebam

Seorang Pria Ditemukan Tewas di Pondok Kebun Sawit Bangka Barat, Ada Luka Lebam

Regional
Pembunuh Terapis di Grobogan Ternyata Sempat Nyabu Sebelum Beraksi

Pembunuh Terapis di Grobogan Ternyata Sempat Nyabu Sebelum Beraksi

Regional
SPBU di Karanganyar Terbakar, Awalnya Muncul Percikan Api dari Mobil

SPBU di Karanganyar Terbakar, Awalnya Muncul Percikan Api dari Mobil

Regional
Pengurus Yayasan Rehabilitasi Narkoba di Sambas Ditangkap Jualan Sabu

Pengurus Yayasan Rehabilitasi Narkoba di Sambas Ditangkap Jualan Sabu

Regional
Prakiraan Cuaca Pekanbaru Hari Ini Minggu 30 Juni 2024, dan Besok : Siang ini Berawan

Prakiraan Cuaca Pekanbaru Hari Ini Minggu 30 Juni 2024, dan Besok : Siang ini Berawan

Regional
Pengakuan Tahanan di Mataram yang Kabur Usai Sidang, Tak Diborgol dan Rindu Anak

Pengakuan Tahanan di Mataram yang Kabur Usai Sidang, Tak Diborgol dan Rindu Anak

Regional
Nekat Bunuh Terapis Pijat Demi Utang Judi, 2 Pria Grobogan Terancam Hukuman Mati

Nekat Bunuh Terapis Pijat Demi Utang Judi, 2 Pria Grobogan Terancam Hukuman Mati

Regional
Ratusan TKI di Malaysia Datang ke Sebatik untuk Coklit, demi Hak Pilih di Pilkada 2024

Ratusan TKI di Malaysia Datang ke Sebatik untuk Coklit, demi Hak Pilih di Pilkada 2024

Regional
Jasad Penagih Utang Dicor, Karyawati Ini Berjaga Saat Bos Distro Bunuh Korban

Jasad Penagih Utang Dicor, Karyawati Ini Berjaga Saat Bos Distro Bunuh Korban

Regional
Kasus Tewasnya Bocah SMP di Padang Ditutup, Penyebab Kematian Bukan Dianiaya tapi Patah Tulang

Kasus Tewasnya Bocah SMP di Padang Ditutup, Penyebab Kematian Bukan Dianiaya tapi Patah Tulang

Regional
Kapal Mati Mesin, 12 Dewasa dan Seorang Anak Terombang-ambing di Laut Bangka

Kapal Mati Mesin, 12 Dewasa dan Seorang Anak Terombang-ambing di Laut Bangka

Regional
Tren Pernikahan Anak Turun, Kemenag dan PPA Diminta Perhatikan Angka Perceraian yang Naik

Tren Pernikahan Anak Turun, Kemenag dan PPA Diminta Perhatikan Angka Perceraian yang Naik

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com