Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Relawan Tagana Sumbawa, 14 Tahun Berada di Garda Depan Bencana Tanpa Asuransi

Kompas.com - 01/05/2024, 20:10 WIB
Susi Gustiana,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

SUMBAWA, KOMPAS.com-Dedi Susanto (39) sudah 14 tahun berada di garda depan saat terjadi bencana di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Prestasi sebagai Ketua Taruna Siaga Bencana (Tagana) berhasil diraihnya di level regional hingga nasional.

Para anggota tagana dipilih dari perwakilan organisasi kepemudaan dan kemasyarakatan serta instansi pemerintah. Dedi sebagai perwakilan dari organisasi kepemudaan KNPI.

Baca juga: Kisah Relawan Tagana, 18 Tahun Bertaruh Nyawa Ditopang Insentif Rp 250.000

Saat awal masuk pada 2009 belum ada tali asih yang Dedi dapatkan. Hal itu karena ia belum masuk database relawan.

“Saya tanamkan dalam hati bagaimana membantu orang sebagai hobi. Dan itu berhasil saya lakukan hingga sekarang,” cerita Dedi saat dikonfirmasi Selasa (30/4/2024).

Pada 2013, ia terpilih menjadi Ketua Tagana Sumbawa. Sampai sekarang ia masih menjadi ketua.

Selanjutnya, pada 2018, ia mengikuti jenjang madya. Ia terpilih sebagai peserta terbaik di bidang evakuasi air se-Indonesia.

Dedi kemudian berangkat ke Manado, menerima penghargaan sebagai pembina tagana berprestasi se-Indonesia.

“Prestasi itu membuat kita mendapat hadiah dapur umum dan 1 unit motor trail. Sampai sekarang Sumbawa punya dua dapur umum dan dua motor trail sebagai aset,” sebut Dedi.

Setelah bertahun- tahun periode kepemimpinan berjalan, Dedi terpilih sebagai Ketua Tagana NTB masa bakti 2020 sampai 2023.

Baca juga: Evakuasi Titi Wati Penderita Obesitas, Tagana Harus Potong Kasur dan Gunakan Pikap untuk Bawa ke RS

Program kerja sebagai Ketua Tagana NTB pada masa kepemimpinan Dedi antara lain roadshow edukasi bencana di sekolah, pemetaan wilayah dan mitigasi bencana, jambore tagana tingkat provinsi di Kecamatan Rhee, Kabupaten Sumbawa.

Selama bertugas belasan tahun, ia berperan aktif dalam berbagai misi kemanusiaan dan kebencanaan.

 

Kisah yang paling tidak terlupakan saat menjadi relawan ketika gempa bumi dengan magnitudo 7 guncang Lombok pada 2018. Wilayah yang paling terdampak di Kabupaten Lombok Utara (KLU)

Malam gempa terjadi, saya langsung di telpon Kemensos. Karena di Lombok semua terdampak. Saya izin ke Bupati dan Wabup, pagi saya langsung berangkat.

Saat tiba di Kecamatan Tanjung kondisinya lumpuh total. Puluhan orang meninggal dunia.

“Banyak yang kehilangan keluarga, karena belum teridentifikasi semua korban yang meninggal dunia dan ditimpa reruntuhan bangunan,” kisah Dedi.

Baca juga: Mengenal Relawan ODGJ Cirebon, Perjuangan Memanusiakan Manusia

Tangisan akibat gempa susulan terus terjadi.

“Sangat menyedihkan, semua warga mengungsi di jalan. Banyak rumah dijarah. Warga kelaparan. Sementara bantuan belum datang,” ucapnya.

Sebagai relawan, ia bersama tim merasa kesulitan mendirikan dapur umum karena pasar dan lain-lain tutup. Sementara bantuan yang dibawa dari Sumbawa juga terbatas.

“Dapur umum kita yang pertama berdiri di Tanjung, Lombok Utara. Karena semua makan di kita jadi persediaan cepat habis. Kita sampai makan mie mentah selama sehari, semua cara digunakan untuk bertahan hidup,” jelasnya.

Ia kemudian berkomunikasi dengan Pemda dan DPRD Sumbawa minta droping bantuan karena dapur umum sudah kehabisan bahan makanan.

“Saat gempa kapasitas masak dapur umum kami di Tanjung sebanyak 7.000 nasi bungkus per hari,” kata Dedi.

Baca juga: Cerita Rudi dan Akim Rela Tak Berlebaran bersama Keluarga demi Tugas Mulia sebagai Relawan PMI

Kondisi masjid hancur, tidak ada tempat mandi bahkan air bersih semua keruh dan tidak ada listrik.

Teriakan saat terjadi gempa susulan terngiang di telinga. Gempa banyak sekali. “Goyang gempa setiap menit. Semua Lumpuh total, tidak ada aktivitas apapun di Lombok Utara pasca gempa,” sebutnya.

 

Kesedihan juga dirasakan Dedi karena meninggalkan anak dan istri di rumah dalam kondisi bencana gempa juga terjadi di Sumbawa meski tak separah Lombok.

Ia berusaha tegar, bertahan serta melakukan trauma healing bagi anak-anak penyintas gempa Lombok. Memori itu sambungnya, tidak bisa terlupakan.

Recover pascagempa ada tiga bulan kami di lokasi bencana pada 2018 itu. Sepulang dari Lombok, kami juga back up penuh Sumbawa,” ucapnya.

Baca juga: Relawan Bencana Mudah Stres, Ini Saran Dosen UM Surabaya

Bencana yang paling sering terjadi di Sumbawa adalah banjir, kebakaran, puting beliung, orang tenggelam dan cuaca ekstrem serta lain-lain membuat Dedi berada di garda depan.

“Pernah banjir di Brang Kolong anggota kami kecelakaan saat menuju lokasi hingga harus di rujuk ke provinsi tanpa jaminan asuransi apapun,” sedihnya.

Dedi pernah berangkat ke Mamuju Sulawesi Barat saat terjadi gempa bumi pada 2021. Ia menjadi relawan dan membawa bantuan kemanusiaan dari NTB.

“Dari beragam misi kemanusian yang saya lakukan, jiwa saya semakin yakin bahwa relawan ini cara agar bisa bermanfaat bagi orang banyak. Saya ikhlas mengabdi di jalan ini,” kisah Dedi.

Perjuangan tagana ternyata tidak sebanding dengan tali asih yang didapatkan. Bahkan, mereka tidak lagi mendapatkan insentif dari daerah pasca Covid 19.

“Setiap bulan kita hanya dapat Rp 150.000 dari Kemensos. Itu hanya untuk mengikat keaktifan. Sementara tagana tak dapat apapun dari daerah pasca-Covid,” keluh bapak 3 anak ini.

Baca juga: Kisah Relawan Tagana, 18 Tahun Bertaruh Nyawa Ditopang Insentif Rp 250.000

Sementara, saat terjadi bencana mereka berada di garda depan meninggalkan istri dan anak dengan gaji tak menentu.

“Tali Asih Rp 250.000 itu jika masuk jadi tagana provinsi, jika di Kabupaten hanya Rp. 150.000,” sebutnya.

Begitu pula mereka bisa saja mendapatkan kecelakaan selama menolong orang di lokasi bencana sedangkan asuransi tak ada sama sekali.

“Tidak ada asuransi kesehatan atau ketenagakerjaan. Kami hanya dijanjikan dan didata dan tidak ada kami dapatkan,” ujar Dedi.

 

Ia menjelaskan sudah sering membawa permasalahan ini ke Pemda dan dengar pendapat di DPRD tapi tak kunjung ada hasil.

“Kami pernah dapat insentif Rp.1 juta dari ketua DPRD Sumbawa tapi sekarang tak ada lagi,” jelas Dedi.

“Kami dijanjikan terus akan didirikan markas, tapi hingga kini tidak terealisasi. Ketika terjadi bencana, siapa yang bantu garda depan, kami itu tugasnya. Tapi nasib kami semakin tidak jelas,” imbuhnya.

“Seharusnya ada dana melekat yang bisa kami kelola sendiri. Kami minder dengan kabupaten/kota lain yang didukung penuh pemda. Banyak banget hal yang ingin kami sampaikan, semua jalan sudah saya lakukan,” beber Dedi.

Baca juga: Razia Usai Libur Lebaran, Dinsos Jaksel Jaring Seorang Gelandangan

Bahkan seharusnya tagana bisa diangkat sebagai PPPK. Namun, ia sadar ini adalah masa transisi pasca pileg dan pilkada karena anggaran minim di Dinas. RKA melekat di Dinas.

Ia berharap kepada pemerintah kembalikan insentif agar ada piket, pelatihan, sosialisasi dan jambore tahunan untuk peningkatan kapasitas tagana.

Menurutnya, pada 2024 ini tagana Sumbawa tidak bisa berangkat jambore di Kabupaten Bima karena tidak ada anggaran. Padahal Sumbawa selalu juara untuk lomba dapur umum, ketangkasan, penyelamatan, bongkar pasang tenda dan lainnya.

Kalau ada bencana, kami hanya back up dapur umum. Kalau lama, dapur umum karena ajukan dulu RAB. Kalau dulu mobil kami langsung di lokasi. Tapi sekarang tidak bisa.

“Kami berharap bisa diberdayakan. Kami bisa cari pendonor tapi apa tidak malu pemda. Karena kita wakil kemensos melekat di daerah. Berdayakan kami seperti dulu. Kami bernaung di bawah Dinas Sosial. Hanya insidentil kami sekarang, ada jika dibutuhkan. Semakin tidak jelas, nasib kami. Kalau seperti itu kembalikan saja kami ke Kemensos hapus saja ketentuan undang-undang bahwa kami aset daerah,” pungkasnya.

Baca juga: Kisah Relawan Bencana Dompet Dhuafa, Awalnya Coba-coba Jadi Keterusan

Kepala Dinas Sosial dikonfirmasi melalui Kabid Perlindungan dan Jaminan Sosial Kabupaten Sumbawa Syarifah mengatakan anggaran daerah sedang defisit pasca Covid 19 dan pemilu 2024.

Bahkan, menurutnya jika sewaktu-waktu terjadi bencana lumbung daerah sekarang kosong.

Tidak ada stok bahan makanan siap saji, baju dan lain-lain untuk bantuan bagi warga terdampak bencana.

“Saya juga dengar keluhan teman-teman tagana. Tapi saya tidak punya kebijakan apapun. Tidak ada anggaran, bahkan saat dirikan dapur umum banjir Maret kemarin anggaran baru diajukan saat sudah terjadi bencana dan dibantu juga dari BPBD. Itulah kenapa kita sering terlambat dirikan dapur umum,” kata Syarifah saat ditemui Selasa (30/4/2024).

Menurutnya, tali asih dari Kemensos untuk tagana langsung masuk via rekening masing-masing anggota.

“Saya juga tidak tahu berapa nominal itu. Tapi cair per 3 bulan sekali,” sebut Syarifah.

Sementara, untuk BPJS ketenagakerjaan sudah didata, tetapi yang mendapatkan adalah anggota tagana terdata di DTKS jika tidak, maka tak dapat.

“Saya juga sudah membantu bersuara ke Bappeda, DPKAD serta DPRD tetapi insentif bagi tagana hilang dari daerah pasca Covid 19,” terangnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com