MAGELANG, KOMPAS.com – Setiap tanggal 5 Syawal atau lima hari usai Idul Fitri, sebagian warga di kaki Gunung Merbabu menggelar tradisi Sungkem Tlompak. Tradisi berupa ziarah ke mata air yang bermula dari situasi paceklik zaman baheula.
Tlompak adalah nama mata air di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Masyarakat setempat dan sekitar memuliakan Tlompak dengan segala mitos yang menyelubunginya.
Baca juga: Riyoyo Kupat, Tradisi Lebaran Ketupat di Lamongan dan Gresik
Ia masih terlindungi rimbunnya hutan di lereng Gunung Merbabu. Air mengalir ke sembilan saluran yang masing-masing dipercaya punya manfaat tersendiri.
Singgih Arif Kusnadi (35), warga Desa Banyusidi menuturkan, masyarakat pantang untuk menebang pohon di area Tlompak. Bahkan, sesederhana mencabut rumput pun tabu.
Keyakinan masyarakat tersebut justru berkembang terhadap seluruh mata air yang berada di sana. Dampak baiknya masyarakat peduli dan tidak sembarangan terhadap alam.
“Ada mitos bahwa mata air dihuni Dewi Nawang Wulan dan dijaga ular buntung, sehingga tidak boleh diganggu. Akhirnya, alam masih terjaga karena dibalut dengan mitos-mitos,” kata Singgih saat dihubungi Kompas.com, Rabu (17/4/2024).
Kesadaran ekologis-spiritual di atas paling tidak terbentuk melalui tradisi Sungkem Tlompak.
Setiap 5 Syawal, masyarakat menziarahi mata air itu sembari membawa sesaji dan melakukan ritual, macam tabur bunga dan bakar kemenyan.
Pada Senin (15/4/2024) lalu, Sungkem Tlompak diselenggarakan.
“Menurut masyarakat setempat, lebaran yang sesungguhnya itu pas Sungkem Tlompak. Karena banyak orang datang,” cetus Singgih.
Sungkem Tlompak ditengarai bermula saat kondisi gagal panen serta susah cari makan yang dihadapi warga Dusun Keditan, Desa Pogalan, Pakis.
Masyarakat lantas menggelar syukuran memohon kepada Semesta agar terhindar dari mala. Tidak cuma berdoa, mereka juga menghelat beragam kesenian untuk menolak bala.
Tidak ada sumber tertulis yang menyebut waktu persis kali pertama tradisi tersebut digelar. Singgih bersaksi, berdasarkan cerita orang tua dan simbahnya, Sungkem Tlompak sudah digelar sejak masa kolonialisme Belanda.
“Lama-kelamaan Sungkem Tlompak menjadi tradisi kebersamaan. Antara Dusun Gejayan dan Keditan seperti keris dan warangka (selubung), saling membutuhkan,” kata dia.