Itu semua dilakukan agar mereka tahu medan pertempuran dan paham bagaimana memenangkan pertarungan.
Dengan begitu beban yang ditanggung si caleg pun jadi tak terlalu berat karena sudah terbagi.
Akan tetapi, kondisi ideal tersebut tak terjadi di semua partai politik. Pengamatan Devi, hanya partai-partai lama seperti PDI Perjuangan yang punya sistem rekrutmen serta mekanisme kaderisasi yang baik.
Parpol baru, katanya, kebanyakan mencomot orang jelang pemilu.
"Padahal calon-calon non-pengurus itu rapuh dan tak siap menerima kenyataan bahwa mereka kalah."
"Karena mereka tidak didukung keuangan dari partai, dan kalau sudah kalah dianggap tidak punya nilai manfaat lagi hingga akhirnya tersisih."
Baca juga: 6 Caleg DPR Dapil Banten 2 yang Lolos ke Senayan, Wakil Ketua MPR Tumbang
"Beda cerita dengan caleg dari kader dari struktur partai yang sudah dididik dari bawah sampai atas, mereka loyalis dan punya pengalaman lebih banyak soal menang dan kalah."
Karena itulah Devi menilai fenomena caleg stres di Indonesia kebanyakan dialami orang baru yang terjun ke politik. Sebab mereka tidak dibentuk memiliki mental yang tangguh.
Modal kampanye pun dari kantong pribadi. Sehingga ambisi untuk menang sangat besar.
Namun ketika situasinya tak sesuai harapan, mereka jadi hilang arah, ujar Devi.
"Makanya ekses pascapemilu terulang lagi. Misal caleg kalah jadi stres selalu ada di pemilu."
Belum lagi tekanan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya suara pemilih.
Meskipun media digital sudah membanjiri hampir di seluruh kelompok masyarakat, tapi tak bisa dipungkiri bahwa "menebar uang" ke masyarakat masih jadi jurus jitu, ungkap Devi.
Baca juga: Cerita Caleg DPRD Jember Raih Suara Terbanyak Bermodal Rp 600 Juta
Di sinilah, menurutnya, caleg harus bekerja keras untuk bagaimana memperkenalkan dirinya supaya dipilih masyarakat. Kalau perlu melakukan praktik "serangan fajar".
"Jadi beban caleg itu berat dan ditanggung sendiri. Kalau gagal yasudah dianggap kesalahan mereka karena tidak populer di masyarakat."
Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kota Depok, Icuk Pramana Putra, mengatakan pada Pileg 2024 partainya memang mengutamakan kader sendiri untuk maju.
Kendati partai yang didirikan pada 2014 ini menyatakan tak menutup pintu bagi orang baru.
"Rata-rata di Pileg kemarin setengah caleg yang maju pengurus dan setengah lagi bukan pengurus. Ya fifty-fifty."
Caleg yang melaju ini, sambungnya, harus menjalani sekolah kader setahun sebelumnya. Namun bagi caleg yang masuk di masa "injury time" minimal wajib tahu soal Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai.
Baca juga: Caleg Terpilih Nasdem di NTT II Mundur, Viktor Laiskodat ke Senayan?
Mereka juga diberi pembekalan soal bagaimana cara berkampanye dan pengetahuan soal komisi-komisi yang kelak mereka duduki di parlemen jika menang.
"Misalnya komisi A pendidikan akan ngapain aja. Jadi mereka sudah tahu mau fokus ke mana dan enggak ngawang-ngawang kalau bikin program atau janji kampanye."
Hanya saja pembekalan mental untuk caleg belum ada, kata Icuk.
"Nah memang tidak secara spesifik melakukan itu [pembekalan mental], karena kami berpikir itu ranah privat."
"Secara spesifik kami baru pembekalan dalam informasi kegiatan selama kampanye ngapain."
Berkaca pada banyaknya caleg yang terguncang secara mental gara-gara kalah bertarung, Icuk mengakui perlunya pembekalan mental.
Hal ini pun, katanya, menjadi bahan evaluasi untuk pemilu mendatang.
Wartawan Mustofa El Abdy di Kota Pamekasan, Madura, dan Yuli Saputra di Bandung, Jawa Barat, berkontribusi dalam liputan ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.