Salin Artikel

Fenomena Caleg Stres karena Gagal, Ada yang Bolak-balik Naik Kereta hingga Berjam-jam di Luar Rumah

Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Devi Darmawan, mengatakan guncangan mental yang dialami para caleg gagal tersebut tak bisa sepenuhnya disalahkan kepada mereka dengan anggapan tak bisa menerima kekalahan.

Sebab di balik situasi itu, menurut Devi, ada kontribusi partai politik yang disebut tidak serius menyokong kadernya bertarung di tengah mahalnya ongkos demokrasi.

Bagaimana sebetulnya persiapan yang dilakukan parpol ketika menyodorkan calegnya di pemilu legislatif (Pileg) 2024?

Bolak-balik naik kereta Bogor-Jakarta

Icuk Pramana Putra, Wakil Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kota Depok, Jawa Barat, bercerita setidaknya ada lima caleg gagal dari partainya yang terguncang secara mental gara-gara kalah di Pemilu 2024.

Kelimanya bisa dibilang caleg baru yang sedianya bertarung memperebutkan kursi di DPRD Kota Depok.

Tapi dari lima orang itu, kata Icuk, ada satu caleg yang menurutnya cukup menjadi perhatian karena berperilaku tak lazim.

"Dia naik kereta dari stasiun Bogor ke Kota, Jakarta... bolak-balik terus duduk di Taman Topi lama berjam-jam sampai malam," ungkap Icuk kepada BBC News Indonesia.

"Buat saya, yang dia lakukan enggak lazim. Karena caleg ini biasanya enggak pernah naik kereta, rata-rata kami bawa mobil atau motor."

Icuk tak mau menyebutkan nama caleg tersebut karena alasan privasi.

Usia si caleg, kata dia, kira-kira 40 tahun. Yang bersangkutan belum ada pengalaman di dunia politik dan tidak punya latar belakang politik.

PSI, katanya, menerima caleg tersebut karena secara personal dianggap mumpuni serta punya kesamaan pemikiran soal anti-korupsi dan toleransi.

"Juga karena kemampuan finansialnya baik. Jadi kami harap dia bisa menduduki kursi di DPRD Kota Depok."

Di pemilu tahun ini, si caleg disebut mengeluarkan modal mencapai ratusan juta rupiah. Uang itu dipakai untuk menebar spanduk atau baliho dirinya serta berjumpa calon konstituen.

Agar kesempatan menangnya semakin besar, ujar Icuk, PSI memberikan 'nomor cantik' kepadanya di kertas surat suara. Nomor cantik yang dimaksud yakni urutan pertama – yang biasanya diperuntukkan bagi pengurus partai.

"Kami kasih ke beliau tempat khusus, karena potensinya cukup besar mengangkat suara PSI."

Untuk lolos ke DPRD Kota Depok, si caleg setidaknya harus mengantongi 7.000 suara. Pada hari pemilihan, perolehan suaranya jauh dari harapan, kata Icuk.

"Ya hasilnya tidak sesuai target si caleg. Suaranya justru salah satu yang terendah dibanding caleg-caleg di nomor yang sama."

Kejadian si caleg bolak-balik naik kereta Bogor-Jakarta terjadi dua hari setelah pencoblosan. Dari cerita tim sukses kepadanya, keluarga sang caleg sampai harus menjemput karena dia enggan pulang.

Beberapa hari setelahnya Icuk ditelepon si caleg yang isinya: "Minta tolong, masih bisa enggak dimenangin?"

Icuk menjawab: "Saya bilang 'nanti kami coba, kami tanyakan apa masih ada kesempatan dan hitung dulu jumlah kursinya'. Intinya dia masih berharap."

Meskipun kekecewaan yang ia rasakan tak sebesar dulu, tapi pikirannya sempat berantakan setelah tahu perolehan suaranya tak cukup besar untuk mengantarkannya ke DPRD Kabupaten Pamekasan.

Dia bercerita, selama 10 hari setelah pencoblosan lebih sering berada di luar rumah.

"Saya kalau jam 4 sore sampai 9 malam tidak di rumah," kata Suwasik.

"Saya butuh apa ya... refreshing... butuh tempat yang nyaman ketika saya tidak nyaman di rumah... jadi saya sering di luar."

"Kadang ngopi dengan teman-teman... supaya bisa mem-balance-kan pikiran saya lagi."

Suwasik bercerita hal yang paling membebani pikirannya adalah bagaimana memperbaiki keuangan keluarga setelah mengeluarkan uang untuk modal kampanye.

Pria paruh baya ini tak mau terus terang menyebutkan angka pasti. Yang jelas, menurutnya, di bawah ongkos kampanye pertamanya yang mencapai Rp300 juta.

Angka itu menurutnya kurang maksimal untuk mendulang suara lantaran caleg lain, klaimnya, menggelontorkan uang lebih besar untuk "serangan fajar" atau bagi-bagi duit ke warga pada hari pemilihan.

Suwasik mengaku bahwa perasaan bakal kalah sebetulnya sudah muncul kala Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.

"Karena sistemnya proporsional terbuka, jadi ini perang finansial... bukan perang figur atau kemampuan individu caleg. Kalau modal kita minim ya tidak bisa paksakan diri."

Itu mengapa Suwasik tidak terlalu berharap bisa menang. Dia bahkan tak lagi mengawal perolehan suaranya di tingkat kecamatan.

Kendati sudah dua kali tumbang, ia berkata belum kapok. Masih tersimpan secuil ambisi untuk melenggang ke DPRD Kabupaten Pamekasan dengan menjadikan kekalahan berulang ini sebagai pengalaman.

"Masak saya akan jadi penonton terus," ucapnya.

Di Instagram, kader Partai Nasional Demokrat (Nasdem) ini nampak mengenakan helm besi dan menyalakan kembang api di siang bolong dalam jumlah besar di menara masjid di kawasan Patokbesi, Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Narasi yang berkembang di media sosial dan media online menyebutkan kelakuannya itu meresahkan warga. Bahkan seorang nenek yang memiliki riwayat penyakit jantung disebut meninggal karena kaget mendengar suara petasan

Tapi pria yang akrab disapa Rizal ini membantah semua tuduhan itu.

"[Tudingan] itu dilebih-lebihkan, makanya saya kecewa. Begini, wartawan ada kode etik, harusnya sebelum pemberitaan dinaikkan, konfirmasi dong. Harusnya [pernyataan] dua belah pihak. Terkadang ada beberapa media tidak peduli dengan merugikan orang," keluhnya.

Rizal sebetulnya sudah tiga periode berturut-turut menduduki kursi anggota DPRD Kabupaten Subang. Namun pada pertarungan keempatnya dia kalah.

Ia bercerita hanya memperoleh sekitar 4.600-an suara – merosot tajam dari perolehan suara di tiga periode sebelumnya yang mencapai 12.500 suara.

Padahal di pemilu kali ini dia mengaku sudah melakukan berbagai upaya. Misalnya membangun sejumlah fasilitas publik bernilai hingga Rp1,5 miliar di dapilnya.

Dia menduga, kekalahannya ini akibat manuver caleg lain yang membagi-bagikan "uang jajan" ke pemilih.

"Kalau saya selama empat periode ini tidak pernah ngasih 'uang jajan'. Saya mengandalkan program untuk umum, seperti pembangunan jalan, musala, majelis taklim, masjid, tempat pengajian, fasilitas umum untuk anak muda, olahraga, dan sebagainya."

Karena merasa sudah berbuat banyak di dapilnya, bahkan memakai uang pribadi, Rizal mengaku kaget dengan jumlah suara yang didapat.

Itu mengapa dia akhirnya membongkar kembali fasilitas umum berupa saluran air sesuai perjanjian dengan warga, klaimnya.

"Satu bulan sebelum pemilihan, masyarakat Blok Jambu minta ke saya, 'Pak di sini banjir terus gimana solusinya?'. Lalu saya beli pipa paralon yang 12 inci delapan batang kurang lebih semuanya Rp12 jutaan."

"Kemudian warga menyatakan seluruh Blok Jambu akan memilih saya. Saya becandain, 'kalau enggak milih saya gimana nih?' [Warga menjawab] 'bongkar saja pak', katanya begitu."

"Lah kemudian saya dipermainkan. Perolehan suara saya cuma 40 dari 300 suara. Artinya saya menganggap ini sudah sesuai perjanjian, ya dibongkar lagi. Itu dibangunnya pakai uang pribadi," papar Rizal.

Selain membongkar saluran air, Rizal juga membongkar jalan di depan rumah warga yang diklaim dibangun memakai uang pribadi.

Kata dia, jalan itu dibongkar karena mengarah ke jalan buntu dan bukan jalan umum. Alasan lain, karena seorang warga di sana disebut tidak memilihnya dan mengucapkan kata-kata kasar kepadanya.

Gara-gara tindakan itu, dia dituduh sebagai caleg stres.

Adapun soal aksi bakar petasan, ia mengatakan hal itu dilakukan untuk merayakan kemenangannya di beberapa daerah, salah satunya di Tambakjati.

Bakar petasan, katanya, sudah menjadi warga setempat saat menyambut kemenangan, hajatan, atau perayaan hari besar Islam dan tahun baru.

Baginya kekalahan ini adalah takdir. Meskipun keluar uang miliaran rupiah, namun secara mental dia mengaku masih baik-baik saja.

Devi menyebut ada faktor lain yang membuat para caleg seperti itu, yakni partai politik yang tidak serius menyokong kadernya bertarung dan mahalnya ongkos demokrasi.

"Jadi ada banyak faktor yang menyebabkan kondisi seseorang tak cukup mampu meng-handle situasi yang membuatnya tertekan," imbuh Devi kepada BBC News Indonesia.

Idealnya, kata Devi, jauh sebelum kontestasi politik dimulai parpol harus memberikan pembekalan. Mulai dari penyiapan mental, pengetahuan tentang partai politik, strategi kampanye, hingga sokongan materiil.

Itu semua dilakukan agar mereka tahu medan pertempuran dan paham bagaimana memenangkan pertarungan.

Dengan begitu beban yang ditanggung si caleg pun jadi tak terlalu berat karena sudah terbagi.

Akan tetapi, kondisi ideal tersebut tak terjadi di semua partai politik. Pengamatan Devi, hanya partai-partai lama seperti PDI Perjuangan yang punya sistem rekrutmen serta mekanisme kaderisasi yang baik.

Parpol baru, katanya, kebanyakan mencomot orang jelang pemilu.

"Padahal calon-calon non-pengurus itu rapuh dan tak siap menerima kenyataan bahwa mereka kalah."

"Karena mereka tidak didukung keuangan dari partai, dan kalau sudah kalah dianggap tidak punya nilai manfaat lagi hingga akhirnya tersisih."

"Beda cerita dengan caleg dari kader dari struktur partai yang sudah dididik dari bawah sampai atas, mereka loyalis dan punya pengalaman lebih banyak soal menang dan kalah."

Karena itulah Devi menilai fenomena caleg stres di Indonesia kebanyakan dialami orang baru yang terjun ke politik. Sebab mereka tidak dibentuk memiliki mental yang tangguh.

Modal kampanye pun dari kantong pribadi. Sehingga ambisi untuk menang sangat besar.

Namun ketika situasinya tak sesuai harapan, mereka jadi hilang arah, ujar Devi.

"Makanya ekses pascapemilu terulang lagi. Misal caleg kalah jadi stres selalu ada di pemilu."

Belum lagi tekanan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya suara pemilih.

Meskipun media digital sudah membanjiri hampir di seluruh kelompok masyarakat, tapi tak bisa dipungkiri bahwa "menebar uang" ke masyarakat masih jadi jurus jitu, ungkap Devi.

Di sinilah, menurutnya, caleg harus bekerja keras untuk bagaimana memperkenalkan dirinya supaya dipilih masyarakat. Kalau perlu melakukan praktik "serangan fajar".

"Jadi beban caleg itu berat dan ditanggung sendiri. Kalau gagal yasudah dianggap kesalahan mereka karena tidak populer di masyarakat."

Kendati partai yang didirikan pada 2014 ini menyatakan tak menutup pintu bagi orang baru.

"Rata-rata di Pileg kemarin setengah caleg yang maju pengurus dan setengah lagi bukan pengurus. Ya fifty-fifty."

Caleg yang melaju ini, sambungnya, harus menjalani sekolah kader setahun sebelumnya. Namun bagi caleg yang masuk di masa "injury time" minimal wajib tahu soal Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai.

Mereka juga diberi pembekalan soal bagaimana cara berkampanye dan pengetahuan soal komisi-komisi yang kelak mereka duduki di parlemen jika menang.

"Misalnya komisi A pendidikan akan ngapain aja. Jadi mereka sudah tahu mau fokus ke mana dan enggak ngawang-ngawang kalau bikin program atau janji kampanye."

Hanya saja pembekalan mental untuk caleg belum ada, kata Icuk.

"Nah memang tidak secara spesifik melakukan itu [pembekalan mental], karena kami berpikir itu ranah privat."

"Secara spesifik kami baru pembekalan dalam informasi kegiatan selama kampanye ngapain."

Berkaca pada banyaknya caleg yang terguncang secara mental gara-gara kalah bertarung, Icuk mengakui perlunya pembekalan mental.

Hal ini pun, katanya, menjadi bahan evaluasi untuk pemilu mendatang.

Wartawan Mustofa El Abdy di Kota Pamekasan, Madura, dan Yuli Saputra di Bandung, Jawa Barat, berkontribusi dalam liputan ini.

https://regional.kompas.com/read/2024/03/14/121300778/fenomena-caleg-stres-karena-gagal-ada-yang-bolak-balik-naik-kereta-hingga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke