"Distribusi air ini sama sekali tidak menggunakan pompa listrik, ini murni gaya gravitasi."
"Akibatnya ada warga yang tidak kebagian air jika di blok lain membuka kran bukan pada waktu gilirannya,” ujar Vial.
Masalah ini berlangsung berhari-hari hingga membuat pening para pengurus Marsudi Lestantun. Warga tidak ada yang mengalah, semuanya ingin mendapatkan air yang lebih banyak setiap hari.
Namun di tengah keributan memperebutkan air dan kebuntuan mencari solusinya, muncullah gagasan yang tak terduga dari sejumlah perempuan. Mereka mendatangi rumah Vial.
“Ada ibu-ibu yang datang, mereka bilang serahkan pada kami urusan pembagian air. Karena kamilah yang tahu kapan dan seberapa banyak tiap keluarga menggunakan air,” kata Vial yang menirukan ucapan sejumlah perempuan.
Akhirnya dibentuklah pengurus air yang semuanya adalah perempuan. Pengurus air ini bertahan sampai saat ini.
Para perempuan desa ini mengatur buka-tutup air di setiap blok agar semua blok permukiman terlayani.
“Kalau ada pipa yang tersumbat, kami kaum lelaki yang disuruh mengecek di sepanjang jalur pipa, tidak peduli siang atau malam. Kadang-kadang ada sambungan pipa yang terlepas atau ada sumbatan lumpur,” ujar Vial.
Untuk mendapatkan air bersih ini warga bersepakat urunan bulanan Rp 10.000. Uang ini digunakan untuk membiayai operasional jaringan air, seperti penggantian pipa yang rusak atau lainnya.
Kemampuan warga transmigran mengelola air bersih di tengah minimnya infrastruktur ini tidak lepas dari program global environment facility small grants programme (GEF SGP) Indonesia.
Pemberdayaan dan kemandirian para petani dibentuk melalui pendampingan yang dilakukan oleh Agraria Institute Gorontalo, sebuah lembaga lokal yang mendapat dukungan pendanaan kecil dari GEF SGP.
Penggerak lembaga ini adalah Sugeng Sutrisno seorang fasilitator dan pengorganisir masyarakat yang pengabdikan diri hingga akhir hayatnya.
Melalui kemitraannya, GEF SGP, Agraria Institute dan para petani di desa penyangga kawasan konservasi SM Nantu ini mampu mengembangkan budaya pertanian yang ramah lingkungan, termasuk mempertahankan kearifan lokal yang masih bertahan di tengah masyarakat.
Salah satu yang harus dijaga selamanya adalah hutan Pabuto tempat air bersih ini berasal.
Warga sadar dari hutan inilah air mengalir sepanjang tahun hingga ke dalam rumah mereka.
Berkah ini yang terus disyukuri dengan cara merawat hutan agar air terus mengalir memberi dukungan kehidupan semua warga, juga satwa dan tanaman.
Yang menarik lagi adalah di SP 3 ini tidak semua transmigran berasal dari pulau jawa, ada petani warga Gorontalo dan juga peranakan Jawa sebagai transmigran lokal.
“Jangan heran jika ada orang jawa mampu berbicara bahasa Gorontalo atau orang Gorontalo fasih ngomong Jawa."
"Komunikasi seperti ini juga terjadi saat membangun jaringan pipa air bersih, pokoknya kami Indonesia banget,” kata Vial sambil tersenyum.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.