Salin Artikel

Kisah Kolaborasi Transmigran Jawa dan Gorontalo Membangun Jaringan Air Bersih di Tepi Hutan SM Nantu

Kondisi ini juga dialami para transmigran dari Jawa di Satuan Permukiman (SP) 3 Desa Saritani Kecamatan Wonosari Kabupaten Boalemo.

Salah satu yang dihadapi adalah ketersediaan air bersih. Permukiman transmigrasi ini termasuk berada jauh di pedalaman, tepatnya di tepi suaka margasatwa (SM) Nantu.

Untuk menuju lokasi ini dari pusat kecamatan, bisa dilalui dengan kendaraan roda dua atau roda empat, namun jika cuaca hujan, bisa saja tidak bisa ditembus.

Jalan masih menjadi kendala meskipun Pemerintah Kabupaten Boalemo telah mengaspal mulus sebagian ruas jalan di Saritani.

Buruknya transportasi ini menyebabkan harga komoditas pertanian anjlok, bahkan sesisir pisang gapi (barangan) yang terbaik dihargai Rp 2.000, yang dianggap tidak bagus ditinggal di kebun, demikian juga dengan komoditas lain.

Meski permukiman mereka berada dekat hutan, namun ketersediaan air tidak selalu ada.

Di beberapa rumah yang dibangun pemerintah dilengkapi dengan sumur namun tidak berisi air bersih, dasarnya disemen, karena fungsi sumur ini sebagai penampung air hujan.

Hampir semua warga memiliki tong warna biru, setiap kepala keluarga mendapat jatah 3 tong.

Wadah ini digunakan untuk menampung air jika hujan tiba. Namun tidak selalu ada hujan.

Sejumlah warga mengaku mencari air di sungai dengan membawa jeriken jika beberapa hari tidak turun hujan.

Kondisi ini dilakoni sudah beberapa tahun, hingga warga menemukan solusi untuk mengatasi kekurangan air bersih ini.

“Kalau dulu kami menampung air hujan dengan ember biru, setiap rumah mendapat pembagian dari pemerintah. Kalau hujan berarti ada persediaan, namun jika beberapa hari tidak hujan kami terpaksa mencari air di Sungai,” kata Irmanto, salah seorang warga transmigran.

Kehadiran air bersih di kawasan transmigrasi ini memang sangat dibutuhkan. Air menjadi kebutuhan pokok yang harus ada setiap hari.

Air bersih tidak semata-mata hadir dengan sendirinya di kawasan permukiman transmigrasi ini.

Mengalirnya air bersih ini adalah buah dari kerja keras dan gotong royong warga SP 3 Saritani.

Mereka bersatu padu membangun jaringan pipa dari hutan Pabuto yang berada di belakang ladang pertanian.

“Tidak mudah menyambung pipa dalam bentangan beberapa kilometer naik turun menyusuri perbukitan, dari sungai di hutan menuju perkampungan,” kata Vial Bullyanto ketua kelompok Marsudi Lestantun yang berasal dari Yogyakarta, Sabtu (9/3/2024).

Dari hutan ini mereka mengalirkan air sungai yang jernih melalui pipa paralon menuju permukiman warga melalui perbukitan dan ladang. Jaraknya lumayan jauh.

Awalnya pekerjaan ini seperti tidak mungkin bisa dilaksanakan, namun faktanya warga transmigran mampu mewujudkan prestasi ini.

“Kuncinya mohuyula atau gotong royong,” kata Vial Bullyanto.

Vial mengungkapkan kehadiran air bersih ini tidak seperti sulapan yang prosesnya lancar dan cepat.

Para petani harus mencari titik yang pas di bagian hutan untuk mengalirkan air, bagian ini sebagai intake air.

Mereka harus presisi menentukan titik agar air mengalir lancar. Di titik ini mereka membendung dengan batuan yang tersedia di sungai.

Permukaan air pun meninggi dan mengalir melalui pipa yang meliuk-liuk di perbukitan menuju perkampungan.

Ujung pipa ini mengalir pada dua buah tong plastik berkapasitas 4.000 liter untuk penampungan di sebuah punggung bukit di permukiman warga. Dari tong inilah pipa dialirkan kembali ke rumah-rumah warga.

“Saat pertama kali air bersih tiba di depan rumah warga, di sinilah masalah muncul, semua ingin memenuhi ember masing-masing, sementara yang di bagian lain menanti aliran tak kunjung tiba,” tutur Vial.

Kapasitas air yang dialirkan tidak mencukupi untuk semua warga jika semua mata kran dibuka.

Diakui Vial jika pipa yang digunakan ukurannya kecil, demikian juga kondisi kontur tanah tempat tong penampung yang tidak terlalu tinggi.

“Pendistribusiannya hanya menggunakan gaya gravitasi, tong penampung ditempatkan di bagian permukiman yang agak tinggi, dari sinilah air dialirkan melalui pipa ke rumah warga."

"Distribusi air ini sama sekali tidak menggunakan pompa listrik, ini murni gaya gravitasi."

"Akibatnya ada warga yang tidak kebagian air jika di blok lain membuka kran bukan pada waktu gilirannya,” ujar Vial.

Masalah ini berlangsung berhari-hari hingga membuat pening para pengurus Marsudi Lestantun. Warga tidak ada yang mengalah, semuanya ingin mendapatkan air yang lebih banyak setiap hari.

Namun di tengah keributan memperebutkan air dan kebuntuan mencari solusinya, muncullah gagasan yang tak terduga dari sejumlah perempuan. Mereka mendatangi rumah Vial.

“Ada ibu-ibu yang datang, mereka bilang serahkan pada kami urusan pembagian air. Karena kamilah yang tahu kapan dan seberapa banyak tiap keluarga menggunakan air,” kata Vial yang menirukan ucapan sejumlah perempuan.

Akhirnya dibentuklah pengurus air yang semuanya adalah perempuan. Pengurus air ini bertahan sampai saat ini.

Para perempuan desa ini mengatur buka-tutup air di setiap blok agar semua blok permukiman terlayani.

“Kalau ada pipa yang tersumbat, kami kaum lelaki yang disuruh mengecek di sepanjang jalur pipa, tidak peduli siang atau malam. Kadang-kadang ada sambungan pipa yang terlepas atau ada sumbatan lumpur,” ujar Vial.

Untuk mendapatkan air bersih ini warga bersepakat urunan bulanan Rp 10.000. Uang ini digunakan untuk membiayai operasional jaringan air, seperti penggantian pipa yang rusak atau lainnya.

Kemampuan warga transmigran mengelola air bersih di tengah minimnya infrastruktur ini tidak lepas dari program global environment facility small grants programme (GEF SGP) Indonesia.

Pemberdayaan dan kemandirian para petani dibentuk melalui pendampingan yang dilakukan oleh Agraria Institute Gorontalo, sebuah lembaga lokal yang mendapat dukungan pendanaan kecil dari GEF SGP.

Penggerak lembaga ini adalah Sugeng Sutrisno seorang fasilitator dan pengorganisir masyarakat yang pengabdikan diri hingga akhir hayatnya.

Melalui kemitraannya, GEF SGP, Agraria Institute dan para petani di desa penyangga kawasan konservasi SM Nantu ini mampu mengembangkan budaya pertanian yang ramah lingkungan, termasuk mempertahankan kearifan lokal yang masih bertahan di tengah masyarakat.

Salah satu yang harus dijaga selamanya adalah hutan Pabuto tempat air bersih ini berasal.

Warga sadar dari hutan inilah air mengalir sepanjang tahun hingga ke dalam rumah mereka.

Berkah ini yang terus disyukuri dengan cara merawat hutan agar air terus mengalir memberi dukungan kehidupan semua warga, juga satwa dan tanaman.

Yang menarik lagi adalah di SP 3 ini tidak semua transmigran berasal dari pulau jawa, ada petani warga Gorontalo dan juga peranakan Jawa sebagai transmigran lokal.

“Jangan heran jika ada orang jawa mampu berbicara bahasa Gorontalo atau orang Gorontalo fasih ngomong Jawa." 

"Komunikasi seperti ini juga terjadi saat membangun jaringan pipa air bersih, pokoknya kami Indonesia banget,” kata Vial sambil tersenyum.

https://regional.kompas.com/read/2024/03/09/165253978/kisah-kolaborasi-transmigran-jawa-dan-gorontalo-membangun-jaringan-air

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke