KULON PROGO, KOMPAS.com – Ujung bibir Giyatno (53) bergetar saat mengacungkan telunjuk ke tanah miring pinggir Waduk Sermo di Kalurahan Hargowilis, Kapanewon Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Air mata seketika menggenang di kedua bola matanya.
Giyatno berusaha air mata itu tidak jatuh di pipi.
Ia menata kata-kata sambil sesekali mengambil napas dalam. Ia menata hati agar tidak emosi.
“Rumah kami dulu di sana, tepat di atas air, tapi sekarang sudah menjadi bagian dari waduk,” kata Giyatno, saat ditemui di lapangan parkir kawasan dermaga Waduk Sermo, pada Sabtu (18/3/2023).
Baca juga: Dua Cagar Budaya di Kulon Progo Bakal Terkena Proyek Pembangunan Tol Solo-Yogyakarta-YIA, Apa Saja?
Giyatno, satu dari 126 warga Dusun Taktoi II, Desa Taktoi, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, yang berkunjung ke Hargowilis.
Mereka sejatinya sebagian masyarakat Desa Hargowilis yang 34 tahun lalu ikut bedhol desa atau berangkat bersama-sama transmigrasi setelah kampungnya digusur untuk pembangunan Waduk Sermo.
Ratusan warga Toktoi ini mampir empat malam di Hargowilis untuk mengikuti Sambang Desa yang digelar Dinas Pariwisata Kulon Progo. Salah satu kegiatannya di dermaga Waduk Sermo.
Giyatno masih ingat lokasi tanah keluarganya di tepi waduk yang ada sekarang.
Di sana ia hidup dalam keluarga sederhana, lulus sekolah, punya banyak teman bermain di kampung.
Kini, semua berubah jadi waduk. Tenggelam oleh air, namun memberi berkah yang mengairi sawah penduduk, air minum bagi penduduk dan banyak kemajuan kota.
Ia berusaha menahan haru. Namun, tangisnya tetap pecah.
“Saya merasa senang dan bersyukur setelah kami melakukan pengorbanan yang begitu banyak, tanah tenggelam, tidak apa-apa. Tidak apa-apa tanah itu. (Kalau tanah kami sekarang) jadi pinggiran waduk sekarang,” kata Giyatno, sambil menangis.
Giyatno saat itu masih 20 tahun dan baru tamat sekolah.
Ia masih kurus dan bujang saat memutuskan ikut berangkat bersama 100 kepala keluarga ke Rejang Lebong untuk transmigrasi.
Mereka semua berangkat dengan 10 bus pada 27 Desember 1990 dan tiba 4 Januari 1991 di Rejang Lebong.
Tiap keluarga membawa banyak barang, seperti sepeda, alat kerja pertanian, hingga perkakas rumah tangga.
“Ada yang sampai tiga peti,” kata Giyatno.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.