JAMBI, KOMPAS.com - Sebagian besar masyarakat Jambi merasa senang pemerintah menutup jalan nasional untuk operasi angkutan batu bara.
Meski demikian, masyarakat mendesak Gubernur Jambi, Al Haris untuk meminta komitmen Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan perusahaan batu bara segera merealisasikan jalan khusus batu bara.
Warga Jambi bahkan meminta Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi pejabat Kementerian ESDM yang telah menyurati Gubernur Jambi agar mempertimbangkan pembukaan jalan nasional untuk angkutan batu bara.
Baca juga: Pelarangan Aktivitas Truk Batu Bara yang Berujung Demo Ricuh di Kantor Gubernur Jambi
"Kita sudah merasakan kelancaran transportasi (tidak macet) dan mudah mendapatkan BBM. Mengapa pemerintah pusat mau buka jalan nasional lagi untuk angkutan batu bara," kata Doni Arianto warga Sarolangun, Selasa (30/1/2024).
Doni menjelaskan, dengan penutupan jalan umum untuk angkutan batu bara, mobilisasi masyarakat menjadi efektif dan cepat. Angka kecelakaan juga turun.
Seharusnyaa, Kementerian ESDM dan perusahaan berpihak kepada kepentingan publik, dengan merealisasikan jalan khusus batu bara.
Baca juga: Karut Marut Angkutan Batu Bara di Jambi...
Warga lainnya, Depi Fatmawati mengaku lega dengan kondisi jalan yang tidak macet. Sehingga ketika melepas anaknya berangkat sekolah dan kuliah tidak khawatir.
"Kita lihat sendiri. Kalau ada batu bara siang dan malam jalanan itu menjadi padat. Kalau sekarang kan sudah lengang dan lancar," kata Depi.
Hal senada dikatakan Feri Irawan, Direktur Perkumpulan Hijau, sebuah organisasi yang fokus pada isu lingkungan di Jambi.
Ia menilai aksi demontrasi yang dilakukan ratusan sopir angkutan batubara di Kantor Gubernur Jambi beberapa waktu lalu, tidak lepas dari kebijakan Pemerintah Provinsi Jambi zaman Gubernur Hasan Basri Agus (HBA).
Diketahui gagasan jalan khusus batubara muncul zaman HBA. Mantan Bupati Sarolangun itu menargetkan pembangunan jalan batubara rampung dan mulai digunakan pada 2014. Namun rencana itu tidak juga terwujud meski sudah 3 kali ganti gubernur.
"Jadi kalau mau dievaluasi harus dari hulu ke hilir," ucap dia.
Menurut Feri, selama ini yang luput dari perhatian adalah banyaknya jumlah korban jiwa akibat kecelakaan yang melibatkan angkutan batubara.
Dalam catatan Perkumpulan Hijau, selama hampir 9 tahun terakhir setidaknya lebih dari 120 orang meninggal. Angka sebenarnya diperkirakan jauh lebih besar.
“Itu belum yang luka atau cacat. Kita harus berpikir, bagaimana keluarga korban itu sekarang,” ucap Feri.