"Bahasa eufemisme [orde baru] itu juga banyak terjadi di beberapa masa kepemimpinan setelah reformasi, tidak hanya di zaman Jokowi. Itu terus direproduksi hingga hari ini,“ kata peneliti politik dari BRIN lainnya, Nina Andriana.
Meskipun gaya penghalusan makna dipertahankan dari setiap rezim, saat ini masyarakat lebih punya peluang untuk skeptis atas narasi yang disampaikan elit politik.
"Apalagi anak-anak muda sekarang. Bisa memberitahu orang tua tanpa ragu, bahwa itu sebenarnya bisa dicari tahu,” tambah Nina.
Tapi ia tak menutup kemungkinan terdapat kelompok masyarakat yang sudah punya pendirian menerima apa pun yang disampaikan elit pemerintah apa yang disebut sebagai "post-truth”.
Kembali pada penghalusan kata "kelaparan“ yang disampaikan Wapres Ma’ruf Amin.
Amnesty Internasional Indonesia mengatakan, “Pernyataan [Wapres Ma’ruf Amin] tersebut meremehkan krisis kemanusiaan yang tengah melanda sebagian Tanah Papua, termasuk di wilayah Yahukimo”.
Amnesty International Indonesia juga mengutip data BPS 2020 – 2022 yang menyebutkan prevalensi kerawanan pangan di Tanah Papua di atas prevalensi nasional.
“Penting untuk menyadari bahwa situasi kelaparan di Papua bukanlah isu baru dan menandakan belum seriusnya negara memenuhi hak-hak dasar Orang Asli Papua,” tulis laporan tersebut.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Armand Suparman meminta pemerintah pusat berhenti untuk bermain kata-kata dalam penanggulangan kelaparan di Papua.
Baca juga: 11 Warga Dilaporkan Meninggal akibat Bencana Kelaparan di Yahukimo
"Yang perlu diperhatikan pemerintah bukan lagi menggambarkan situasi yang ada, tapi bagaimana repons untuk mengatasi persoalan ini untuk konteks jangka pendek dan panjang,” katanya.
Ungkapan penghalusan kata "kelaparan”, kata Armand, pada akhirnya bisa berbuntut penanganan yang akhirnya direspons untuk jangka pendek. " Ini cara kerja seperti pemadam kebakaran,” katanya.
Berdasarkan laporan Katadata, kasus kelaparan yang berujung kematian di Papua bukan pertama kali terjadi.
Pada 2005 (55 kasus kematian), 2006 (15 kasus kematian), 2009 (92 kasus kematian), 2022 (tiga kasus kematian), dan 2023 (29 kasus kematian).
Armand juga meminta agar pemerintah membuat perencanaan yang sistematis dengan pengetatan pengawasan pada anggaran otonomi khusus.
"Ada problem di Papua, jangan hanya dilimpahkan ke pemerintah lokal, tapi ke pemerintah pusat sebagai lembaga pembina dan pengawas,” katanya.