“Seperti luka bakar pada kulit, kalau tersentuh itu perih. Ini betul-betul dijaga citranya… Realitanya ini adalah bencana kelaparan,” katanya.
Baca juga: 5 Nakes dari Kemenkes Dianiaya KKB Saat Cek Kabar Kelaparan di Yahukimo
Secara umum, kata Prof Firman, eufemisme dalam kacamata politik merupakan upaya menyembunyikan kenyataan, memanipulasi pikiran masyarakat agar menjauh dari realita, dan mengesankan persoalan bukan sebagai masalah besar. Semua demi menjaga stabilitas rezim.
Semakin luas satu pemerintahan menggunakan eufemisme dalam menarasikan persoalan masyarakat, semakin otoriter pemerintahan tersebut.
“Eufemisme merupakan bagian dari propaganda pemerintah di negara-negara non-demokratis, dan otoriter,” tambah Prof Firman.
Selama pemerintahan Jokowi, ini bukan insiden pertama kalangan elit melunakkan makna kata yang sebenarnya – meskipun muncul kata-kata baru dengan berbagai alasan.
Dalam peristiwa terbaru, Menteri Investasi Bahlil menggunakan istilah "pergeseran“ sebagai pengganti "relokasi” atau lebih tepatnya "penggusuran” terhadap masyarakat adat tua melayu di Rempang, Kepulauan Riau.
Contoh lainnya adalah istilah "mudik” dan "pulang kampung” yang pernah dilontarkan Jokowi dalam sebuah acara bincang-bincang televisi.
Saat itu, konteksnya pemerintah sedang merancang larangan bagi yang "mudik” dalam kebijakan pengetatan Covid-19, tapi mereka yang "pulang kampung” tak dipersoalkan.
"Kalau mudik itu di hari lebarannya. Kalau pulang kampung itu bekerja di Jakarta pulang ke kampung," kata Jokowi.
Baca juga: Pemkab Yahukimo Bantah 11 Warga Meninggal karena Bencana Kelaparan di Amuma
Kementerian Sosial pada 2019 juga menggantikan istilah "keluarga miskin“ menjadi "keluarga prasejahtera“ melalui sebuah kebijakan.
Alasannya, untuk menghilangkan stigma sosial di masyarakat terhadap penerima Program Keluarga Harapan (PKH), sebagaimana dikutip dari laporan Tirto.
Selain itu, penelitian oleh Kasri Riswadi dari Univeritas Hasanuddin juga menunjukkan Presiden Jokowi untuk periode 2014-2019 dalam pernyataan resminya beberapa kali menghaluskan kata-kata yang sebenarnya.
Misalnya, perlambatan ekonomi (semestinya krisis ekonomi), penyegaran (semestinya pergantian), proses hukum (semestinya penangkapan), gesekan (semestinya pertikaian, kericuhan), situasi tetap aman dan damai (semestinya tidak rusuh), serta mengganggu proses-proses demokrasi (aksi orang-orang yang tidak terima hasil pemilu).
Sebagian diksi eufemistis di era Jokowi juga pernah digunakan orde baru, seperti penyesuaian harga (semestinya kenaikan harga), dan keluarga prasejahtera (semestinya keluarga miskin).
Baca juga: 23 Orang Meninggal karena Kelaparan di Yahukimo, Wapres Instruksikan Kirim Bantuan
Beberapa diksi lain di orde baru yang masih bertahan sampai sekarang antara lain bantuan asing (semestinya pinjam/utang), penggunaan fasilitas negara (semestinya penyelewenangan), dan rawan pangan (semestinya kelaparan), pengamanan (semestinya penangkapan/penculikan), penertiban (semestinya penggusuran).