Ki Ageng Selo senang bertapa di hutan, gua, dan gunung sambil bertani di sawah.
Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil panen sawahnya selalu dibagi-bagi dengan tetangga yang membutuhkan.
Pada perkembangannya, Ki Ageng Selo mendirikan perguruan Islam. Salah seorang muridnya adalah Mas Karebet, calon Sultan Pajang yang bergelar Hadiwijaya.
Dalam tapanya, Ki Ageng Selo selalu memohon kepada Tuhan supaya dapat menurunkan raja-raja besar yang menguasi seluruh Jawa.
Nama Selo yang melekat pada nama Ki Ageng, terkait dengan kekalahannya melawan banteng liar.
Suatu saat, Ki Ageng ingin melamar menjadi prajurit Tamtama di Demak. Syaratnya adalah dia harus diadu dengan banteng liar.
Dalam perkelahian tersebut, Ki Ageng dapat membunuh banteng, namun dia takut dengan percikan darahnya. Akhirnya lamarannya sebagai prajurit ditolak.
Karena sakit hati, Ki Ageng kembali ke desanya di Selo.
Suatu hari, Ki Ageng Selo mencangkul di sawah dalam kondisi mendung.
Tak lama kemudian, hujan turun dengan lebat dengan halilintar.
Belum lama mencangkul, Ki Ageng Selo disamber "bledheg" yang kemudian berwujud kakek-kakek.
Ki Ageng Selo cepat-cepat menangkap dan mengikat kakek di pohon gandri.
Ki Ageng kemudian menyerahkan "bledheg" atau kakek-kakek tersebut kepada Sultan Demak.
Sultan Demak menempatkan kakek di jeruji besi di tengah alun-alau. Banyak orang berdatangan untuk melihat wujud "bledheg" tersebut.
Baca juga: Benarkah Ki Ageng Selo Bisa Menangkap Petir?
Kemudian, seorang nenek datang memberikan air kendi kepada :"bledheg" yang kemudian diminumnya.