"Saya tanya pada A, kenapa kamu dipukul ?" Tanya Ridwan, dan A saat itu menjawab bahwa ia tidak berbuat kesalahan.
Kemudian Ridwan mengajak A untuk segera shalat ke mushala tanpa melihat ada bekas memar di leher korban.
Menjawab pertanyaan mejelis hakim soal kewajiban shalat zhuhur berjamaah di sekolah tersebut, Ridwan mengatakan hal itu telah menjadi peraturan sekolah.
"Siswa laki-laki diwajibkan shalat berjamaah. Ini peraturan sekolah," tandasnya.
Ridwan mengaku tak menyangka kasus itu berbuntut panjang. Diawali pada pukul 14.00 Wita pada hari kejadian tanggal 26 Oktobar 2022 ayah A datang ke sekolah.
Hingga keesokan hari dilaporkan kepada pihak kepolisian. Proses mediasi di sekolah dilakukan hingga tiga kali namun tidak ada kata sepakat.
Bahkan, ia mengakui bahwa orangtua korban meminta uang sebesar Rp 50 juta untuk berdamai. Namun Akbar sebagai guru honorer tidak menyanggupi permintaan dari orangtua korban.
Baca juga: Kasus Guru Hukum Siswa sampai Telapak Kaki Melepuh di Madiun Berakhir Damai
Sementara Akbar Sorasa yang ditemui sebelum persidangan berharap hakim bisa memutuskan perkara ini dengan adil.
"Saya berharap hakim bisa memutuskan perkara ini dengan adil sesuai fakta persidangan," harap Akbar.
Akbar Sorasa dijerat Pasal 76C Jo Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA) dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.