Tidak hanya mengajar, seniman lain yang menggantungkan hidup dari pekerjaan tampil menari di acara pemerintah dan swasta, lantaran pandemi harus gantung alat musik dan pakaian menari.
Sebelum pandemi, tampil di acara pemerintah dan swasta itu paling banyak 2-3 kali dalam seminggu.
Pergelaran untuk kekaryaan dan festival tari juga tidak berjalan.
“Kalau melalui event-event seni itu, walaupun hanya 3-4 kali setahun, untungnya lumayan,” kata Eri.
Baca juga: Mahfud MD Bertemu dengan Seniman dan Budayawan Jabar, Bahas Persoalan Bangsa
Even rutin Sekintang Dayo itu Festival Tari Lah Puah Jelupung Tumbuh, sampai sekarang sudah 10 kali dilaksanakan. Kalau tidak ada pandemi sudah 12 kali.
“Kegiatan ini kita kumpulkan masa sampai ribuan penonton. Di sini ada pergelaran, pelatihan dan kompetisi tari tingkat sekolah dasar sampai umum. Acaranya bisa sampai seminggu,” kata Eri.
Selanjutnya acara tingkat nasional, Festival Selaras Pinang Masak di Jakarta juga tidak berjalan di saat pandemi.
Tidak hanya Sekintang Dayo, kebanyakan sanggar di Jambi memang hidupnya dari kerja sama dengan pemerintah dan swasta melalui pergelaran seni.
Baca juga: Petani dan Seniman Ramai-ramai Ajak Ganjar Makan Bareng Jelang Lengser
Ketika pandemi lalu, karena ruang-ruang pertunjukkan tutup total, maka Sekintang Dayo merintis di ranah digital.
Pementasan dan lomba virtual coba dijajaki, tetapi penghasilannya tidak signifikan. Belum ada penonton yang bersedia membayar di ruang digital.
“Kalau pendapatan dari endorsement dan adsense YouTube itu, tidak bisa menutupi ongkos produksi. Kita ini kan kerja tim ya. Kalau penghasilannya tidak memadai sekali pergelaran, maka akan merugi,” kata Eri.