JAMBI, KOMPAS.com– Eri Argawan, maestro tari di Sanggar Sekintang Dayo mengurut dada ketika pandemi Covid-19 datang.
Hampir 28 bulan sanggarnya tutup total. Aktivitas pewarisan tari tradisi ke ratusan anak-anak terganjal aturan.
Sanggar Sekintang Dayo adalah rumah bagi puluhan seniman tari dan musik. Tempat ini turut jadi sarana belajar ratusan anak-anak.
Sanggar seni besutan Eri Argawan sudah mulai eksis sejak 5 Oktober 1993 atau 30 tahun silam.
Baca juga: Seniman Pangandaran Berjuang Kenalkan Gondang Buhun di Tengah Kemajuan Zaman
Karya tradisi maupun kreasi yang lahir dari rahim sanggar tak terbilang. Angkanya di atas ratusan karya.
Popularitas dari Sekintang Dayo di dunia tari dan musik, membuat anak-anak yang sudah berusia 5 tahun datang untuk belajar.
“Waktu pandemi kami tutup total. Kawan-kawan seniman yang ada di Sanggar Sekintang Dayo kerja serabutan, ada yang jadi buruh, banyak juga bekerja tukang ojek,” kata Eri Argawan di sela-sela latihan di Taman Budaya Jambi, Rabu (20/9/2023).
Ia menuturkan ketika pandemi, banyak sekali pekerjaan yang dibatalkan.
Menurut lelaki berusia 58 tahun ini, selama ini Sekintang Dayo bekerja sama dengan pemerintah dengan swasta, untuk acara seremonial peluncuran produk dan pernikahan (wedding).
Untuk saat ini, kata Eri, Sekintang Dayo menghidupi seniman profesional dengan rincian 24 penari dan 14 pemusik.
Meskipun tidak semua, beberapa rekan-rekan seniman memang menggantungkan hidupnya dari karya.
Baca juga: Cerita Seniman Tradisi Badud Pangandaran, Pernah Dicemooh dan Dibayar Alakadarnya
Ia mencontohkan sanggar Sekintang Dayo memiliki murid, anak-anak yang belajar tari tradisi dan kreasi jumlahnya di atas 300 orang.
Namun setelah pandemi, banyak yang tidak melanjutkan latihan menari kembali dan tersisa 150 anak.
“Ada seniman sudah profesional, maka kita kasih ruang untuk mengajar anak-anak. Karena pandemi tutup, mereka tidak punya penghasilan,” kata Eri.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.