Namun Human Rights Watch pada 2017 mencatat ada lebih dari 2.000 kasus persekusi dan diskriminasi yang menimpa komunitas LGBT, di antaranya termasuk pemecatan.
Baca juga: Bupati Garut Keluarkan Perbup Anti-LGBT, Ridwan Kamil Serahkan ke Kemendagri
Menurut Andreas, kasus-kasus pemecatan ini – termasuk yang terjadi di Dharmasraya - menggambarkan bagaimana aparat mendasarkan tindakannya pada tafsir “subjektif”.
Selama ini, perlakuan diskriminatif terhadap individu LGBT disandarkan pada pelanggaran etik dan disiplin yang secara subjektif masih ditafsirkan sebagai tindakan yang “menyimpang” berdasarkan norma agama.
Dalam kasus pemecatan prajurit pada 2020 misalnya, TNI menyatakan bahwa orientasi seksual sesama jenis melanggar disiplin militer.
Begitu pula ketika pada 2019 lalu, Kejaksaan Agung menolak calon pegawai negeri sipil (CPNS) LGBT. Menteri PAN-RB saat itu, Tjahjo Kumolo, mengatakan tidak ada aturan dan undang-undang yang mengatur larangan hubungan sesama jenis, sehingga isu ini lebih ditempatkan sebagai persoalan etik.
Baca juga: Bupati Garut Keluarkan Perbup Larang Aktivitas LGBT
Di Indonesia sendiri, tak ada Undang-Undang yang melarang LGBT. Namun Andreas mengatakan penafsiran subjektif atas norma dan asusila itu nyatanya telah melahirkan ratusan peraturan diskriminatif.
“Ini menunjukkan bahwa hukumnya jelek, penegakan hukumnya kacau balau.”
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.