Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Satpol PP di Dharmasraya Dipecat karena Diduga LGBT

Kompas.com - 01/08/2023, 11:33 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Seorang anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) berinisial RYP di Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat dipecat karena diduga LGBT dan dianggap “bertindak asusila” setelah videonya berangkulan dengan perempuan lainnya viral di media sosial.

Pegiat HAM dan komunitas LGBT mengecam pemecatan itu karena dinilai diskriminatif dan tak berdasar, hingga berdampak RYP kehilangan haknya untuk bekerja dan mencari nafkah.

“Karena dia mengekspresikan seksualitasnya dia dipecat, ini menggambarkan bagaimana kebencian dan diskriminasi terhadap LGBT itu menghilangkan hak dasarnya dan ini mengerikan sekali,” kata aktivis dari perkumpulan Suara Kita, Hartoyo kepada BBC News Indonesia.

Hartoyo juga mempertanyakan dasar aturan yang melandasi pemecatan tersebut. Sebab orientasi seksual, dia sebut “tidak ada hubungannya dengan kinerja” seorang pegawai.

Baca juga: Polisi Dalami Informasi Korban Mutilasi di Sleman Sedang Lakukan Penelitian LGBT

Ketika dikonfirmasi, Kepala Satpol PP Dharmasraya, Syafrudin bersikukuh bahwa pemecatan itu melanggar Surat Perjanjian Kerja yang mengatur bahwa seorang praja tak boleh melanggar asusila.

“Silakan saja [menganggap pemecatan diskriminatif], tapi kami kan punya aturan. Masa seperti itu tidak kita tindak, kita biarkan saja? Masa kita memelihara dan membiarkan?” kata Syafrudin kepada wartawan Halbert Chaniago yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Belum diketahui bagaimana kondisi RYP usai peristiwa ini. BBC News Indonesia telah berupaya mencari akses kepada korban, namun belum berhasil sampai laporan ini ditulis.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang juga menyatakan bahwa mereka masih berupaya mencari akses dan informasi terkait RYP.

Bagaimana kasus ini bermula

Kasus pemecatan ini bermula ketika video RYP berangkulan dengan seorang perempuan viral di media sosial pada pertengahan Juli lalu. Di dalam video itu, RYP tampak mengenakan seragam Satpol PP.

Syafrudin merespons peristiwa itu dengan membentuk tim untuk memanggil dan memeriksa RYP. Dalam pemeriksaan, RYP disebut mengakui perbuatannya.

Baca juga: Polisi Tangkap 2 Komplotan Rampok Modus Aplikasi Dating Online LGBT di Medan

Hasil sidang kemudian menyatakan RYP “melanggar asusila” berdasarkan klausul yang tercantum dalam Surat Perjanjian Kerja (SKP) sebagai petugas honorer di institusi itu.

“Sejak awal ada perjanjian kerja, salah satunya kan tidak berbuat asusila. Ini [LGBT] kan sudah termasuk perbuatan asusila,” kata Syafrudin.

Dia dipecat “secara tidak hormat” pada Rabu (26/7) dan tidak mendapatkan pesangon.

Andreas Harsono dari Human Rights Watch (HRW) menilai proses pemecatan itu tidak adil, dan seolah menempatkan RYP sebagai pihak yang telah melakukan kejahatan.

“Orientasi seksual tidak boleh dijadikan dasar pemecatan seseorang karena itu adalah hak asasi manusia. Bahwa dia muncul ke publik dengan video, bermesraan bersama pasangannya, itu kan persoalan pribadinya. Itu bukan kejahatan,” kata Andreas ketika dihubungi.

“Orang lesbian kan berhak dicintai dan mencintai,” sambungnya.

Baca juga: Pemkab Bandung Tengah Bakal Rancang Perda Larangan LGBT

Hilangnya hak individu

Ilustrasi LGBT Ilustrasi LGBT
Bagi Hartoyo, aktivis dari perkumpulan Suara Kita yang aktif menyuarakan hak-hak LGBT, pemecatan ini adalah bentuk “pelanggaran” terhadap hak dasar LGBT sebagai warga negara. Sebab, orientasi seksual “tidak ada hubungannya dengan kinerja” seseorang.

Individu LGBT yang kehilangan sumber pencaharian juga berpotensi kehilangan akses terhadap kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Belum lagi dampak psikologis akibat stigma yang ditanggung.

Sebelum ada kasus ini pun, Hartoyo mengatakan komunitas-komunitas LGBT telah diliputi kekhawatiran dan ketakutan terhadap ancaman diskriminasi dan persekusi.

“Kalau ini dilakukan oleh pasangan heteroseksual belum tentu dipecat, paling-paling diberi peringatan. Cara pandang Kepala Satpol PP itu diskriminatif karena menganggap orientasi seksual ini menyimpang,” kata Hartoyo.

“Kejahatan apa memangnya yang mereka lakukan? Kok kesannya kayak membakar rumah orang, kayak mencuri uang orang miliaran rupiah. Memang LGBT enggak boleh kerja? Dasar aturannya apa?” sambungnya.

Hartoyo menilai aparat negara “tidak berhak” mencampuri urusan orientasi seksual individu.

Baca juga: Fakta Terbaru Kasus Mahasiswa Korban Mutilasi di Sleman, Korban Sedang Teliti LGBT hingga Hasil Tes Kejiwaan Pelaku

Bukan kasus pemecatan pertama

Pemecatan dengan alasan LGBT bukan kali pertama terjadi di Dharmasraya, dan umumnya menempatkan korban dalam posisi tak berdaya.

Pada 2018, soerang polisi di Polda Jawa Tengah, Brigadir T diberhentikan secara tidak hormat karena alasan yang sama.

Brigadir T menggugat pemecatannya ke Pengadilan Usaha Tata Negara (PTUN) Semarang, namun gugatannya ditolak.

Dia kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya yang juga memperkuat putusan pengadilan sebelumnya.

Baca juga: Mahasiswa Korban Mutilasi di Sleman Disebut Sedang Lakukan Riset LGBT

Upaya kasasi juga telah dilayangkan ke Mahkamah Agung (MA), namun MA justru mengesahkan dan menyetujui pemecatannya.

“Itu mencerminkan bahwa kualitas peradilan di Indonesia ini mengecewakan, terutama bagi kalangan minoritas,” kata Andreas.

Kasus serupa pun terus berulang. Pada 2020, setidaknya 15 anggota TNI dan Polri dipecat karena disangka “berperilaku homoseksual” dan juga telah menuai kecaman dari para pegiat HAM.

Tidak ada data yang merinci secara spesifik berapa banyak kasus pemecatan serupa terjadi di Indonesia.

Namun Human Rights Watch pada 2017 mencatat ada lebih dari 2.000 kasus persekusi dan diskriminasi yang menimpa komunitas LGBT, di antaranya termasuk pemecatan.

Baca juga: Bupati Garut Keluarkan Perbup Anti-LGBT, Ridwan Kamil Serahkan ke Kemendagri

Penafsiran subjektif atas asusila

Menurut Andreas, kasus-kasus pemecatan ini – termasuk yang terjadi di Dharmasraya - menggambarkan bagaimana aparat mendasarkan tindakannya pada tafsir “subjektif”.

Selama ini, perlakuan diskriminatif terhadap individu LGBT disandarkan pada pelanggaran etik dan disiplin yang secara subjektif masih ditafsirkan sebagai tindakan yang “menyimpang” berdasarkan norma agama.

Dalam kasus pemecatan prajurit pada 2020 misalnya, TNI menyatakan bahwa orientasi seksual sesama jenis melanggar disiplin militer.

Begitu pula ketika pada 2019 lalu, Kejaksaan Agung menolak calon pegawai negeri sipil (CPNS) LGBT. Menteri PAN-RB saat itu, Tjahjo Kumolo, mengatakan tidak ada aturan dan undang-undang yang mengatur larangan hubungan sesama jenis, sehingga isu ini lebih ditempatkan sebagai persoalan etik.

Baca juga: Bupati Garut Keluarkan Perbup Larang Aktivitas LGBT

Di Indonesia sendiri, tak ada Undang-Undang yang melarang LGBT. Namun Andreas mengatakan penafsiran subjektif atas norma dan asusila itu nyatanya telah melahirkan ratusan peraturan diskriminatif.

“Ini menunjukkan bahwa hukumnya jelek, penegakan hukumnya kacau balau.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

DMI dan LPQ Kota Semarang Usulkan Mbak Ita Maju Pilkada 2024

DMI dan LPQ Kota Semarang Usulkan Mbak Ita Maju Pilkada 2024

Regional
Kampung Jawi di Semarang: Daya Tarik, Jam Buka, dan Rute

Kampung Jawi di Semarang: Daya Tarik, Jam Buka, dan Rute

Regional
Gantikan Ganefri, Krismadinata Terpilih Jadi Rektor UNP 2024-2029

Gantikan Ganefri, Krismadinata Terpilih Jadi Rektor UNP 2024-2029

Regional
Anak Ketua DPC Gerindra Ambil Formulir Pilkada Blora di PDI-P

Anak Ketua DPC Gerindra Ambil Formulir Pilkada Blora di PDI-P

Regional
Video Viral Bocah Menangis di Samping Peti Mati Sang Ibu yang Dibunuh Ayahnya di Minahasa Selatan

Video Viral Bocah Menangis di Samping Peti Mati Sang Ibu yang Dibunuh Ayahnya di Minahasa Selatan

Regional
Viral, Bupati Pemalang Touring Pakai Pelat Palsu, Mansur: Keteledoran Tim

Viral, Bupati Pemalang Touring Pakai Pelat Palsu, Mansur: Keteledoran Tim

Regional
Polisi Tangkap Pria yang Cabuli Anak di Bawah Umur di Toilet Sekolah

Polisi Tangkap Pria yang Cabuli Anak di Bawah Umur di Toilet Sekolah

Regional
Gaji Guru PPPK di Semarang Masih Belum Cair, Wali Kota: Sabtu Cair

Gaji Guru PPPK di Semarang Masih Belum Cair, Wali Kota: Sabtu Cair

Regional
Kick Off ILP, Pj Walkot Nurdin: Upaya Wujudkan Pelayanan Kesehatan Paripurna

Kick Off ILP, Pj Walkot Nurdin: Upaya Wujudkan Pelayanan Kesehatan Paripurna

Kilas Daerah
Status Gunung Ibu Naik Jadi Siaga, Terdengar Dentuman dan Erupsi

Status Gunung Ibu Naik Jadi Siaga, Terdengar Dentuman dan Erupsi

Regional
Suami Tewas Diduga Dianiaya Polisi di Aceh Utara, Istri Korban Minta Hukum Pembunuhnya

Suami Tewas Diduga Dianiaya Polisi di Aceh Utara, Istri Korban Minta Hukum Pembunuhnya

Regional
Perbaikan Jalan Pantura Demak Menyisakan 2 Titik, Contraflow Diberlakukan Jika Macet

Perbaikan Jalan Pantura Demak Menyisakan 2 Titik, Contraflow Diberlakukan Jika Macet

Regional
Dapat Penghargaan dari Serikat Pekerja/Buruh Sumut, Ini Upaya Pj Gubernur Sumut Sejahterakan Buruh

Dapat Penghargaan dari Serikat Pekerja/Buruh Sumut, Ini Upaya Pj Gubernur Sumut Sejahterakan Buruh

Regional
Cerita Luqman Nabung Sejak 2012 dari Hasil Jualan Bakso Bakar, Akhirnya Berangkat Haji Tahun Ini

Cerita Luqman Nabung Sejak 2012 dari Hasil Jualan Bakso Bakar, Akhirnya Berangkat Haji Tahun Ini

Regional
Diduga Malpraktik hingga Pasien Tewas, Lurah di Prabumulih Dinonaktifkan

Diduga Malpraktik hingga Pasien Tewas, Lurah di Prabumulih Dinonaktifkan

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com