Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aryo S Eddyono
Dosen

Doktor Kajian Budaya dan Media UGM. Dosen Magister Ilmu Komunikasi UBakrie. Mengamati Isu-isu Jurnalisme dan Demokrasi, Media dan Budaya Populer, dan Komunikasi Politik.

Pers Lokal yang Tidak Baik-baik Saja

Kompas.com - 27/07/2023, 11:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Di salah satu provinsi, pejabat papan atasnya tidak boleh dikritisi pers, steril dari dari berita-berita yang mempertanyakan kinerja.

Di provinsi lain, pers lokal takut memberitakan dampak perkebunan sawit dan pertambangan batubara bagi masyarakat. Daripada pendapatan hilang, pilihan patuh terhadap intervensi menjadi pilihan penyelamatan bisnis perusahaan.

Tak banyak pers lokal yang bisa bertahan di situasi berat ini, bahkan mereka masih mampu mengupah wartawannya dengan layak sesuai ketentuan.

Kemampuan bertahan ini didukung upaya pemilik media melakukan diversifikasi bisnis, efisiensi, dan semangat menjaga independensi ruang redaksi. Pers lokal yang semacam ini bisa dibilang langka.

Situasi semakin memprihatinkan ketika pers lokal terjebak dalam logika Search Engine Optimazation (SEO) dan terdominasi isu viral media sosial.

Dengan anggaran dan sumber daya wartawan yang terbatas, pilihan yang diambil adalah mengikuti logika SEO dan viral media sosial.

Berita yang diangkat adalah berita yang ditulis sesuai logika itu. Apa lacur, isi berita menjadi seragam, abai pada berita yang dibutuhkan publik. Kita patut gelisah dengan situasi pers lokal di Indonesia.

Cobaan berikutnya adalah tahun politik yang mulai bisa dirasakan suasananya. Dengan kondisi ekonomi media yang tidak baik-baik saja, pilihan menjadi media partisan di tahun politik sepertinya akan menjadi godaan menarik bagi pers lokal agar bisa bertahan.

Jalan keluar

Saat ini Dewan Pers dan sejumlah organisasi perusahaan pers terus mendorong pemerintah segera membahas publisher rights yang mewajibkan platform digital global seperti Google dan Facebook agar menghargai secara ekonomi berita yang diproduksi pers lokal maupun nasional.

Singkat kata, ada royalti yang didapat ketika konten tersebut disebarluaskan oleh berbagai platform digital global. Selama ini, perolehan kue iklan digital didominasi oleh platform digital global.

Namun upaya penting ini hanya terbatas untuk media digital yang terkait dengan paltform digital global. Sementara persoalan ketergantungan pers lokal terhadap iklan APBD tidak bisa dijawab melalui publisher rights tersebut.

Lalu apa?

Di ranah internal, pers lokal harus selalu menyadari bahwa keberpihakan yang utama adalah kepada publik, bukan pemberi iklan. Perlu cara elegan menghadapi permintaan pemberi iklan yang ingin mengintervensi ruang redaksi.

Pemilik perlu melakukan diversifikasi bisnis agar secara perlahan ketergantungan pada iklan APBD berkurang. Apalagi pers lokal harus bersaing dengan para influencer media sosial dalam memeroleh pendapatan.

Diversifikasi bisnis ini juga penting untuk menjaga pendapatan agar bisa menggaji wartawannya dengan layak sehingga bisa bekerja secara profesional.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com