Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aryo S Eddyono
Dosen

Doktor Kajian Budaya dan Media UGM. Dosen Magister Ilmu Komunikasi UBakrie. Mengamati Isu-isu Jurnalisme dan Demokrasi, Media dan Budaya Populer, dan Komunikasi Politik.

Pers Lokal yang Tidak Baik-baik Saja

Kompas.com - 27/07/2023, 11:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Di ujung pandemi, situasinya tidak langsung membaik. Perusahaan pers lokal banyak yang mengalami kesulitan ekonomi, tertatih-tatih.

Pendapatan iklan yang susut belum pulih signifikan. Akibatnya ada perusahaan pers tak mampu menggaji wartawannya.

Isu upah layak wartawan ibarat jauh panggang dari api. Bahkan ada pula yang tidak mampu membayar tagihan listrik dan internet.

Sebelum Covid-19, masih bisa ditemui wartawan yang ditugaskan rangkap, mencari berita sekaligus mendapatkan iklan.

Situasi menyedihkan ini semakin susah hilang karena media benar-benar “haus” pendapatan agar bisa menggerakkan roda perusahaan.

Mirisnya, target itu sulit diwujudkan karena perusahaan swasta juga belum pulih sehingga mengurangi pengeluaran iklannya.

Praktik wartawan amplop juga semakin sulit lenyap. Di beberapa daerah, praktik semacam ini bahkan difasilitasi dan cenderung dimaklumi.

Selama Covid-19 memang pernah ada insentif pemerintah bagi perusahaan pers lokal berupa penghapusan pajak, penangguhan pembayaran premi BPJS, hingga prioritas mendapatkan kue iklan penanggulangan Covid-19.

Google News Innitiative juga pernah memberikan bantuan ke 180 media Indonesia terdampak Covid-19 dengan seleksi ketat. Namun, insentif yang diberikan tidak dalam waktu yang lama. Lagi pula, tidak semua media mendapatkannya.

Sumber pendapatan yang bisa diharapkan dan menjadi dominan adalah iklan yang berasal dari APBD. Pemerintah daerah menggelontorkan anggaran ini ke perusahaan pers melalui iklan kerjasama.

Hanya saja, anggaran ini terbatas dan tidak hanya diberikan ke media saja, melainkan juga ke para influencer media sosial dan kegiatan lainnya.

Banyak pers lokal menggantungkan hidupnya pada pendapatan ini. Sebanyak 60-80 persen pendapatan iklan pers lokal berasal dari anggaran APBD, bahkan ada yang lebih dari itu.

Situasi ini tentu berdampak buruk bagi independensi ruang redaksi. Pemerintah daerah seolah mendapat angin dan memiliki kuasa untuk mengintervensi isi pemberitaan pers lokal, baik secara halus maupun terang-terangan.

Pemerintah daerah seolah memiliki “kuncian” agar pers lokal patuh pada arah pemberitaan yang mereka mau. Jika tidak, iklan APBD melayang. Jadi, lebih baik memberitakan rilis pemerintah daerah daripada mengkritisinya.

Ada kasus berita yang sudah tayang tiba-tiba lenyap setelah ruang redaksi mendapat telepon dari pejabat pemerintah daerah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com