“Dia pasien perempuan dengan kehamilan ektopik [di luar rahim] dan mengalami pendarahan aktif. Lalu dirujuk karena tidak ada alat, ke Kota Sorong, untung dia selamat. Tapi ada juga yang meninggal dalam keadaan dirujuk,” katanya.
Pasien kedua itu, katanya, tidak bisa dioperasi karena RS kehabisaan Endotracheal Tube (ETT), alat yang digunakan untuk menjamin saluran napas tetap bebas. “Kemudian saat dirujuk, dalam perjalanan, ambulan tabrakan karena supirnya mabuk,” katanya.
Selain itu, tambahnya, seorang pasien serangan jantung kembali harus dirujuk karena RSUD Scholoo Keyen tidak memiliki obat dan spuit (alat suntik) sekali pakai.
Bahkan di kasus lain, seorang bayi prematur mengalami desaturasi hingga apneu (gagal nafas) dikarenakan listrik RS padam dan genset rusak.
Sumber itu mencatat, dalam lima bulan terakhir di tahun 2023, kasus-kasus itu adalah beberapa contoh dari 105 kondisi potensial cedera (KCP) yang 53% di diantaranya mengarah ke kematian (KCPS), di mana kelangkaan obat dan BMHP menjadi penyebab tertinggi.
Tahun sebelumnya, jumlah KPC berjumlah 178 kasus, dengan nol KTD dan satu kasus sentinel.
Baca juga: Geledah Rumah Tersangka Korupsi Dana Hibah KONI Papua Barat, Polisi Sita Aset dan Dokumen
Sumber BBC News Indonesia menjelaskan, kelangkaan tersebut terjadi karena banyak pedagang besar farmasi (PBF) di Kota Sorong telah ‘mengunci’ atau menghentikan pasokan obat akibat besarnya utang ‘turun temurun’ RSUD Scholoo Keyen itu ke para vendor.
“Contoh, ada obat yang hanya dikeluarkan oleh satu PBF, sementara utang RS ke PBF itu besar sekali sehingga sudah dikunci. Permintaan akan dilayani kalau sudah bayar. Saat cari ke yang lain, harga jadi mahal dan stok terbatas,” katanya.
Di sisi lain, sumber itu mengatakan, pada tahun 2023, RSUD Scholoo Keyen mendapatkan anggaran untuk obat dan BMHP mencapai lebih dari Rp3 miliar.
“Dari dana Otsus Rp 800 juta, DAU Rp1,5 miliar dan Rp515 juta dari DAU untuk reagen. Kemana itu uangnya?” katanya.
Baca juga: Aksi Hacker Lulusan SMP Asal Lumajang, Retas Situs Web Pemkab Malang sampai Pemprov Papua Barat
Selain masalah itu, gaji pegawai kontrak dan insentif pelayanan bagi pegawai negeri sipil RSUD Scholoo Keyen juga belum dibayarkan.
“Gaji Januari, Februari baru dibayar 4 April setelah pertengahan Maret ada aksi protes. Lalu gaji Maret dibayar pada 30 Mei setelah pekan lalu kembali protes. Kini gaji April dan Mei belum dibayar sampai saat ini.”
“Gaji yang tidak dibayar ini menyebabkan pegawai kontrak yang tinggal di luar RS banyak yang terancam diusir dari kontrakan,” kata sumber itu.
Dia menyebutkan, RSUD Scholoo Keyen memiliki sekitar 398 pegawai, terdiri dari 10 dokter umum, dua dokter gigi umum, satu dokter gigi spesialis, 12 dokter spesialis, dan sekitar 200 perawat hingga pegawai kontrak.
Selain itu, katanya, RSUD itu masuk dalam kelas C yang memiliki tempat tidur minimal 104 ranjang, namun karena banyak yang rusak maka jumlah yang tersedia sekitar 73.
Sementara dari survei pelayanan rumah sakit bulan lalu, sumber itu mengatakan, terdapat 53% pasien yang merasa pelayanan RSUD itu tidak baik.
Baca juga: Polda Papua Barat Akan Jemput Paksa 5 Saksi Kasus Pemalsuan Dokumen CPNS
Penyebabnya, katanya, karena beberapa perusahaan farmasi masih ‘mengunci’ pasokan RSUD Scholoo hingga utang-utang sebelumnya yang masih ada dibayar.
“Tentu problem ini sudah kita sampaikan ke pemda, tentu pemda terus mengupayakan upaya terbaik supaya bagaimana RS bisa menyelesaikan itu,” kata Ihsan kepada Paul, wartawan di Sorong Selatan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Ihsan mengatakan, untuk bulan Juni ini, rumah sakit kembali belum bisa mengajukan permintaan obat karena kendala dukungan biaya, ditambah ada beberapa bagian dari gedung RSUD yang perlu diperbaiki.
Baca juga: Terbanyak di Sorong, Alokasi Bantuan Bedah Rumah di Papua Barat
“Itu kita prioritaskan untuk selesai dulu, sambil manajemen berupaya bagaimana supaya problem bahan medis habis pakai dan obat-obatan bisa segera tertangani dengan baik... Tentu kita harus sadar diri. Kalau kita siap misalnya ditelanjangi dengan kondisi seperti ini, boleh-boleh saja,” kata Ihsan.
Ihsan pun berharap agar Pemkab Sorong Selatan mengerti kebutuhan rumah sakit seperti apa.
“Kalau mengerti berarti harus disediakan. RS butuh dokter spesialis, lalu dokter spesialis itu bekerja dengan apa. Tentu harus ditunjang oleh alat yang memadai dan kemudian bahan-bahan yang tidak pernah kurang, kebutuhan itu harus tercukupi,” katanya.