Pihak ICJR menilai bahwa pernyataan Kapolda Sulteng seolah-olah menurunkan derajat kejahatan pada kasus kekerasan anak berusia 15 tahun oleh 11 pria.
“Kewajiban penyidik [adalah] untuk tidak menyalahkan korban, apalagi menarasikan jika ada iming-iming maka level kejahatan menjadi turun. Sangat disayangkan ini terjadi,“ ungkap peneliti ICJR Maidina Rahmawati dalam pernyataan resmi.
Lebih lanjut, ia mengatakan UU Perlindungan Anak dapat memberikan derajat kejahatan persetubuhan kepada anak yang lebih berat jika menggunakan tipu muslihat, kebohongan, atau pembujukan.
Sebab, persetubuhan terhadap anak dengan bentuk apapun, baik berupa kekerasan, ancaman ataupun rayuan sebagai perkosaan yang mutlak alias statutory rape.
Baca juga: Ahli Sebut Para Pelaku Pemerkosaan ABG di Sulteng Bisa Dihukum Mati
“Persetubuhan terhadap anak adalah kekerasan seksual, juga dalam pasal 473 ayat 2 huruf b UU No. 1 tahun 2023 tentang KUHP Baru telah mengambil politik hukum bahwa persetubuhan terhadap anak juga merupakan bentuk perkosaan,“ ujar Maidina.
Bahkan, sambungnya, pembedaan antara kata pemerkosaan dan persetubuhan oleh pihak polisi juga pernah terjadi sebelumnya.
Sebelumnya, Kapolsek Kalideres juga pernah menyatakan bahwa kekerasan seksual yang dialami oleh NN (17 tahun) yang dilakukan oleh orang dewasa berusia 42 tahun bukan sebagai perkosaan, namun sebagai persetubuhan.
Oleh karena itu, ia menyarankan agar pihak kepolisian mempelajari perkembangan pengaturan kekerasan seksual di Indonesia, dan perkembangan diskursus serta politik hukum tentang Kekerasan Seksual, yang sejalan dengan pemenuhan hak korban.
“Polisi harus banyak mempelajari perkembangan pengaturan kekerasan seksual di Indonesia, dan perkembangan diskursus serta politik hukum tentang Kekerasan Seksual, yang sejalan dengan pemenuhan hak korban, sangat disayangkan peningkatan pengetahuan polisi mengenai kekerasan seksual cukup minim,” katanya.
Baca juga: Pakar Sebut Persetubuhan ABG di Sulteng Pemerkosaan, Singgung Pola Relasi
“Kami menanggapi Polda Sulteng harus menempatkannya pada perspektif yang jelas tentang kejahatan seksual tersebut sesuai aturan yang berlaku, bukan lagi mengemukakan sesuatu yang membingungkan bagi masyarakat,“ ujar Ai kepada BBC News Indonesia pada Minggu (4/6).
Sebab, dengan pihak kepolisian berfokus pada persetujuan korban sebagai obyek penyidikan, masyarakat bisa saja menganggap sang korban “setuju“ untuk melakukan tindakan itu.
“Karena mau ada persetujuan atau tidak, dan kita tidak mengenal aspek persetujuan atau tidak persetujuan dalam aturan perundangan untuk kekerasan seksual pada anak, ini yang harus clear. Bahkan di UU pasal 12 2022 terkait TPKS, itu kan jelaskan bahwa seluruh kekerasan seksual terhadap anak itu juga delik biasa dan penyandang disabilitas.
Baca juga: Polisi Usut Perkosaan ABG 16 Tahun di Sulteng Diminta Utamakan Empati
Sementara, sambungnya seluruh aktivitas yang berkaitan dengan tindakan seksual tidak bisa dikaitkan pada isu “konsensualitas“ sang anak.
“Kekhawatirannya kami di situ, ternyata kalau anak sama-sama suka, misalnya hukumannya diringankan terhadap orang dewasa itu.
“Prinsip-prinsip aturan perundangan seluruh aktivitas terhadap anak adalah pidana, kemudian tidak mengenal konsensualitas atau persetujuan dengan anak,“ ujar Ai.
Meski begitu, ia menilai bahwa penggunaan Undang-Undang Pasal 81 sudah tepat untuk menjerat para pelaku. Hanya saja, KPAI berharap aparat kepolisian mengedepankan keamanan dan keberpihakan pada korban dalam kasus seperti ini.
“Kami justru mendorong kepolisian, jangan terlalu banyak berpolemik urusan erminology tapi jalankan sesuai dengan prosedur. Karena kalau itu titik tekannya justru sesuai, tapi jangan lupa ada UU TPKS.
”Kami mengingatkannya dalam dua UU yang memang memberi dukungan secara optimal, secara norma, terhadap situasi anak yang betul-betul dalam keadaan buruk ini,” katanya.
Baca juga: Ayah ABG 16 Tahun yang Diperkosa 11 Pria di Sulteng Ajukan Perlindungan ke LPSK
Menurut catatan KPAI, pada 2022 kasus kekerasan seksual pada anak mencapai angka tertinggi, yakni 834 kasus
Sementara, sejauh ini dalam enam bulan terakhir pada 2023, Ai mengatakan kekerasan seksual berpotensi kembali menjadi jenis kekerasan pada anak tertinggi.
"Sampai hari ini kita bisa melihat eskalasinya luar biasa. Ini saya lihat, masih tertinggi kekerasan seksual dibandingkan dengan kekerasan lainnya pada anak.
"Biasanya ada kekerasan fisik dan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan pornografi dan cybercrime. Nah ini kemungkinan kekerasan seksual kembali yang angkanya tertinggi di tahun 2023 ini. Tapi kita akan merilis data secara resmi," kata Ai.