Salin Artikel

Menyoal Polisi yang Gunakan Kata "Persetubuhan" di Kasus Kekerasan Seksual Anak oleh 11 Pria di Sulteng

Sebab, pergeseran istilah itu dianggap menurunkan derajat kejahatan.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati menyayangkan pernyataan pihak kepolisian terkait kejahatan seksual yang menimpa anak 15 tahun di Sulteng itu.

“Bersetubuh dengan anak adalah perkosaan atau dikenal dengan statutory rape. Pernyataan Kapolda tersebut seolah menurunkan tingkat kejahatan tersebut, padahal ancaman pidananya lebih besar,” kata Maidina lewat keterangan resmi.

Ia menjelaskan bahwa narasi polisi tentang penggunaan istilah 'persetubuhan anak' menunjukkan jika ada iming-iming atau bujukan membuat kejahatan itu turun derajat.

Padahal, seharusnya dalam konteks ini, bujukan atau iming-iming juga masuk dalam kategori kekerasan seksual terhadap anak.

Terkait hal tersebut, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti bahwa pernyataan Kapolda Sulteng sudah tepat.

Sebab, tidak ada istilah pemerkosaan dalam UU Perlindungan Anak, yang menjadi rujukan tim penyidik.

Oleh karena itu, pihak kepolisian menggunakan pasal 81 ayat 2 dalam UU Perlindungan Anak dan pasal 65 KUHP untuk menjerat para pelaku.

”Jadi kalau melihat pasal perulangan kejahatan maka ancaman hukumannya maksimal 15 tahun ditambah 1/3, yaitu lima tahun, sehingga total 20 tahun penjara. Apalagi jika ada kerusakan fungsi reproduksi, maka ancaman hukumannya bisa ditambah.

”Kompolnas juga mendorong penggunaan pasal 2 dari UU TPKS untuk melengkapi penggunaan UU Perlindungan Anak dan KUHP agar ada jaring bagi para pelaku untuk dihukum seberat2nya serta ada perlindungan kepada korban,” ujar Poengky kepada BBC News Indonesia, Minggu (4/6).

Meski begitu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah mengatakan bahwa seharusnya pihak aparat tidak terlalu mempermasalahkan terminologi dan terus menjalankan penyidikan kasus itu sesuai prosedur.

Sebab menurut Ai, bagaimanapun keduanya, baik itu ”persetubuhan” atau ”pemerkosaan”, keduanya merupakan kejahatan seksual terhadap anak.

”Seolah ada obyek yang sedang disajikan: "Apakah ini ada persetujuan atau tidak?" Kembali lagi bahwa seluruh aktivitas seksual yang ada atau tidak ada persetujuan dari anak, itu adalah kekerasan seksual,” ungkap Ai.

Ia mengatakan penggunaan kata ”persetubuhan” dalam kasus ini pun dikhawatirkan dapat menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat karena mereka menganggap korban memberi ”persetujuan”.

”Masyarakat soalnya memberi pikiran-pikiran, 'oh anaknya sih yang mau'. Ini yang harus kita cegah. jadi ada sanksi sosial yang berpotensi dalam kasus ini sehingga mari samakan persepsinya untuk sama-sama kita beri kesempatan APH juga bekerja secara profesional.”

“Kewajiban penyidik [adalah] untuk tidak menyalahkan korban, apalagi menarasikan jika ada iming-iming maka level kejahatan menjadi turun. Sangat disayangkan ini terjadi,“ ungkap peneliti ICJR Maidina Rahmawati dalam pernyataan resmi.

Lebih lanjut, ia mengatakan UU Perlindungan Anak dapat memberikan derajat kejahatan persetubuhan kepada anak yang lebih berat jika menggunakan tipu muslihat, kebohongan, atau pembujukan.

Sebab, persetubuhan terhadap anak dengan bentuk apapun, baik berupa kekerasan, ancaman ataupun rayuan sebagai perkosaan yang mutlak alias statutory rape.

“Persetubuhan terhadap anak adalah kekerasan seksual, juga dalam pasal 473 ayat 2 huruf b UU No. 1 tahun 2023 tentang KUHP Baru telah mengambil politik hukum bahwa persetubuhan terhadap anak juga merupakan bentuk perkosaan,“ ujar Maidina.

Bahkan, sambungnya, pembedaan antara kata pemerkosaan dan persetubuhan oleh pihak polisi juga pernah terjadi sebelumnya.

Sebelumnya, Kapolsek Kalideres juga pernah menyatakan bahwa kekerasan seksual yang dialami oleh NN (17 tahun) yang dilakukan oleh orang dewasa berusia 42 tahun bukan sebagai perkosaan, namun sebagai persetubuhan.

Oleh karena itu, ia menyarankan agar pihak kepolisian mempelajari perkembangan pengaturan kekerasan seksual di Indonesia, dan perkembangan diskursus serta politik hukum tentang Kekerasan Seksual, yang sejalan dengan pemenuhan hak korban.

“Polisi harus banyak mempelajari perkembangan pengaturan kekerasan seksual di Indonesia, dan perkembangan diskursus serta politik hukum tentang Kekerasan Seksual, yang sejalan dengan pemenuhan hak korban, sangat disayangkan peningkatan pengetahuan polisi mengenai kekerasan seksual cukup minim,” katanya.

“Kami menanggapi Polda Sulteng harus menempatkannya pada perspektif yang jelas tentang kejahatan seksual tersebut sesuai aturan yang berlaku, bukan lagi mengemukakan sesuatu yang membingungkan bagi masyarakat,“ ujar Ai kepada BBC News Indonesia pada Minggu (4/6).

Sebab, dengan pihak kepolisian berfokus pada persetujuan korban sebagai obyek penyidikan, masyarakat bisa saja menganggap sang korban “setuju“ untuk melakukan tindakan itu.

“Karena mau ada persetujuan atau tidak, dan kita tidak mengenal aspek persetujuan atau tidak persetujuan dalam aturan perundangan untuk kekerasan seksual pada anak, ini yang harus clear. Bahkan di UU pasal 12 2022 terkait TPKS, itu kan jelaskan bahwa seluruh kekerasan seksual terhadap anak itu juga delik biasa dan penyandang disabilitas.

Sementara, sambungnya seluruh aktivitas yang berkaitan dengan tindakan seksual tidak bisa dikaitkan pada isu “konsensualitas“ sang anak.

“Kekhawatirannya kami di situ, ternyata kalau anak sama-sama suka, misalnya hukumannya diringankan terhadap orang dewasa itu.

“Prinsip-prinsip aturan perundangan seluruh aktivitas terhadap anak adalah pidana, kemudian tidak mengenal konsensualitas atau persetujuan dengan anak,“ ujar Ai.

Meski begitu, ia menilai bahwa penggunaan Undang-Undang Pasal 81 sudah tepat untuk menjerat para pelaku. Hanya saja, KPAI berharap aparat kepolisian mengedepankan keamanan dan keberpihakan pada korban dalam kasus seperti ini.

“Kami justru mendorong kepolisian, jangan terlalu banyak berpolemik urusan erminology tapi jalankan sesuai dengan prosedur. Karena kalau itu titik tekannya justru sesuai, tapi jangan lupa ada UU TPKS.

”Kami mengingatkannya dalam dua UU yang memang memberi dukungan secara optimal, secara norma, terhadap situasi anak yang betul-betul dalam keadaan buruk ini,” katanya.

Menurut catatan KPAI, pada 2022 kasus kekerasan seksual pada anak mencapai angka tertinggi, yakni 834 kasus

Sementara, sejauh ini dalam enam bulan terakhir pada 2023, Ai mengatakan kekerasan seksual berpotensi kembali menjadi jenis kekerasan pada anak tertinggi.

"Sampai hari ini kita bisa melihat eskalasinya luar biasa. Ini saya lihat, masih tertinggi kekerasan seksual dibandingkan dengan kekerasan lainnya pada anak.

"Biasanya ada kekerasan fisik dan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan pornografi dan cybercrime. Nah ini kemungkinan kekerasan seksual kembali yang angkanya tertinggi di tahun 2023 ini. Tapi kita akan merilis data secara resmi," kata Ai.

Menurutnya, itu sudah sesuai dengan perundang-undangan yang menjadi rujukan, yakni UU Perlindungan Anak.

“Terkait kasus ini, pasal yang digunakan penyidik untuk menjerat pelaku adalah pasal 81 ayat 2 UU Perlindungan Anak,” ujar Poengki.

Dalam undang-undang tersebut, jelasnya, penggunaan tipu daya atau imung-iming dan kekerasan memiliki sanksi pidana yang sama.

Selain itu, digunakan juga pasal 65 dalam UU KUHP untuk perulangan kejahatan yang dilakukan pelaku.

“Jadi kalau melihat pasal perulangan kejahatan maka ancaman hukumannya maksimal 15 tahun ditambah sepertiga, yaitu lima tahun, sehingga total 20 tahun penjara. Apalagi jika ada kerusakan fungsi reproduksi, maka ancaman hukumannya bisa ditambah,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa penyidik tidak menggunakan KUHP baru yang mengkategorisasikan persetubuhan anak sebagai pemerkosaan, karena perundang-undangan tersebut baru berlaku pada 2026.

Poengki mengatakan bahwa tim penyidik juga tidak lupa dengan pasal-pasal dalam UU TPKS seperti pasal 4 ayat (2) huruf c, pasal 6 huruf c, pasal 12, pasal 15 huruf e, f, g, m, n, pasal 16 ayat (1) dan (2).

“Dengan demikian ada pasal-pasal berlapis yang menjerat para pelaku berdasarkan UU Perlindungan Anak, UU TPKS dan KUHP,” katanya.

Ia mengatakan bahwa saat ini proses penyidikan sudah diambil alih oleh Polda dan harus sesuai fakta yang berdasarkan keterangan korban, saksi, dan bukti-buktu yang ada.

“Mohon semua pihak menunggu hasil penyidikan. Saat ini penyidikan sudah diambil alih Polda. Penyidik harus bebas dari intervensi. Ada Bareskrim yang melakukan supervisi dan Kompolnas yang melakukan pengawasan fungsional.

“Kami mendorong penyidik profesional dengan dukungan scientific crime investigation agar hasilnya valid,” ujar Poengki.

Sebelumnya, Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan memastikan kasus kekerasan seksual terhadap anak 15 tahun akan diusut tuntas.

Ia mengatakan terkait oknum Brimob yang diduga terlibat tengah didalami oleh Polres Parigi Moutong. Dia menyatakan bakal menindak jika terbukti bersalah.

"Terkait dengan keterlibatan anggota, tentu kasus itu ditangani oleh Polres Parigi Moutong," kata Ahmad kepada media, Jumat (2/6).

Ketika ditanya soal Polda Sulteng menyebut kasus itu bukan pemerkosaan, melainkan persetubuhan anak di bawah umur, Ramadhan tidak memberi comentar. Dia hanya mengatakan akan mengusut perkara tersebut secara proporsional.

"Nanti kita lihat, yang jelas kasus ini ditangani secara proporsional dan profesional. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Kami pastikan kasus ini tidak ada yang ditutupi," tegasnya.

Disebut sebagai kasus persetubuhan bukan pemerkosaan

Dalam konferensi pers pada Kamis (1/6), Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Agus Nugroho mengatakan bahwa penggunaan kata ‘pemerkosaan’ dalam kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak berusia 15 tahun di Parimo, Sulawesi Tengah itu keliru.

”Kasus yang terjadi bukanlah perkara atau kasus pemerkosaan ataupun rudapaksa apalagi sebagaimana kita maklumi bersama beberapa waktu yang lalu ada yang menyampaikan pemerkosaan yang dilakukan oleh 11 orang secara bersama-sama, saya ingin meluruskan penggunaan istilah itu.

“Kita tidak menggunakan istilah pemerkosaan, melainkan persetubuhan anak di bawah umur," ujar Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Agus Nugroho

Ia menjelaskan bahwa alasan dia mengganti istilah 'pemerkosaan' menjadi 'persetubuhan' anak karena mengacu pada aturan hukum yang berlaku.

“Apabila kita mengacu pada istilah pemerkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 KUHP ini secara jelas dinyatakan bahwa unsur yang bersifat konstitutif di dalam kasus pemerkosaan adalah adanya tindakan kekerasan atau pun ancaman kekerasan,” lanjut Agus.

Hingga Minggu (4/06) Polda Sulawesi Tengah telah menahan 10 dari 11 tersangka yang diduga pelaku dan memeriksa sejumlah saksi.

Salah satunya adalah seorang anggota Polri berinisial MKS yang berpangkat Inspektur Dua atau Ipda di Polres Parigi Moutong. MKS telah diberhentikan dari tugasnya sejak dilakukan proses pemeriksaan awal.

MKS ditetapkan sebagai tersangka setelah pemeriksaan terhadap dirinya sejak Rabu (31/5).

"Kami tetapkan sebagai tersangka malam ini, selanjutnya diperiksa dengan status tersangka dan kemudian langsung ditahan," kata Kapolda Sulteng Inspektur Jenderal Agus Nugroho seperti dikutip Antara.

Pada Selasa (30/5) lalu, pendamping korban, Salma Masri, mengatakan kondisi kesehatan anak terus memburuk lantaran alat reproduksinya mengalami infeksi akut dan rahimnya terancam diangkat.

Salma Masri bercerita psikis korban anak hingga saat ini masih sangat terguncang. Situasi tersebut diperparah dengan kondisi kesehatannya yang kian memburuk.

Dalam sejumlah rangkaian pemeriksaan ditemukan adanya infeksi akut pada alat reproduksi korban anak sehingga harus dilakukan tindakan operasi untuk mengangkat rahimnya.

https://regional.kompas.com/read/2023/06/07/061000278/menyoal-polisi-yang-gunakan-kata-persetubuhan-di-kasus-kekerasan-seksual

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke