Pekerjaan sulaman karawo ini bersifat komunal, lazimnya melibatkan lebih dari seorang dalam selembar kain. Ada yang bertugas mengiris serat kain, dan ada yang bertugas menyulamnya.
“Untuk mememuhi kebutuhan pesanan ini kami terus memberdayakan kaum perempuan di desa, membentuk kelompok yang anggotanya berjumlah 10 orang. Tugas kelompok ini menyelesaikan sulaman karawo dalam jumlah tertentu, mulai dari mengiris serat kain hingga membuat sulaman,” tutur Nining.
Ia sudah memiliki 4 kelompok, ini berarti Nining telah melibatkan setidaknya 40 orang dalam memproduksi sulaman karawo. Kelompok ini tersebar di Kelurahan Tanjung Kramat Kota Gorontalo, Bunggalo dan sekitarnya serta di Isimu kabupaten Gorontalo.
Baca juga: Burung Maleo Jadi Simbol Keketuaan Indonesia di ASEAN, Warga Gorontalo Bangga
Melalui sulaman karawo inilah, tumbuh harapan kaum perempuan yang tersebar di desa dan kelurahan untuk memperbaiki ekonomi keluarga dan menguatkan ikatan sosial.
Seperti para perajin sulaman karawo lainnya, Nining Arif memiliki keterampilan ini sejak masih kanak-kanak. Ia mengingatkan saat kelas 5 sekolah dasar ia sudah mampu menyulam karawo. Ia mendapatkan keterampilan ini dari ibunya yang bernama Dedi Nusi.
“Saya masih ingat, kalau menyulam karawo itu dibayar Rp1000, Rp250 untuk tukang iris, Rp150 untuk tukang ikat, 350 untuk penyulam, dan sisanya untuk beli benang dan operasional lainnya,” kenang Nining saat masih tinggal di Desa Bunggalo.
Semangatnya mongarawo atau membuat sulamaan karawo ini tidak kenal lelah, bahkan ia melanjutkan pekerjaannya saat malam hari.
“Dulu pakai lampu minyak, papa saya akan memompa dulu lampunya, setelah itu kami saling medekati lampu untuk menyulam, biar terlihat jelas,” ujarnya sambal tertawa lepas.
Saat ini para perajin sulaman karawo masih banyak yang mendatangkan bahan dari kota besar di pulau Jawa. Bahan tersebut adalah kain dan benang, bahan utama sulaman karawo.
Baca juga: Update Kasus Anak Hilang di Gorontalo, Tante Korban Ditetapkan Sebagai Tersangka
Persediaan bahan di toko-toko tekstil di Kota Gorontalo tak mampu memenuhi permintaan sulam karawo, terutama dari luar daerah. Ragam warna kain dan benang tidak selalu ada di Gorontalo. Sementara jika memesan di Jawa para perajin ini harus berhadapan dengan biaya pengiriman yang mahal.
“Tetap saja kami memilih belanja di Jawa agar kualitas sulaman karawo tetap terjaga dan mampu mengikuti kebutuhan zaman,” tutur Nining.
Rusnia Mantali, Nining, dan banyak perajin karawo lainnya merasa saat ini adalah masa paling baik dalam menjalankan usaha sulam karawo. Permintaan pasar yang tumbuh signifikan ini memberi gairah tersendiri bagi mereka.
Kebutuhan untuk memiliki keterampilan manajerial usaha mulai terasa, mereka tidak selamanya mampu mengandalkan improvisasi untuk bisa bertahan di tengah dinamika dunia mode yang terus berubah.
Sulam karawo harus terus dihidupkan untuk memberi penghidupan bagi banyak orang. Rusnia dan Nining optimistis usaha ini akan meningkat, memberi harapan baikan di masa depan, tak pernah putus, seperti aliran Sungai Bone di belakang rumah Nining yang terus mengalir ke Teluk Tomini sepanjang waktu.
Jelujur benang terus dilakukan Rusnia di serat kain saat senja mulai menghilang, tidak ada lagi sinar matahari yang menerangi garasi mungil tempatnya bekerja. Ia terus memainkan aneka benang seperti warna pola sulaman, ia berharap hidupnya juga penuh warna dengan menyintai tradisi menyulam ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.