Ia menjadi arsitek termuda dan terakhir yang merancang pembangunan Lawang Sewu.
Dikutip dari laman Gramedia.com, ketika Belanda mundur dan pemerintahan diambil alih oleh Jepang pada 1942.
Sehingga pada antara tahun 1942 hingga 1945, gedung ini digunakan sebagai Kantor Ryuku Sokyoku (Jawatan Transportasi Jepang).
Namun pihak Jepang juga menggunakan ruang bawah tanah sebagai penjara dan lokasi eksekusi mati.
Kemudian pada 1945, tepatnya bulan Oktober pemerintah Belanda ingin merebut kembali wilayah Semarang, sehingga menimbulkan perang yang berhasil membuat pihak Jepang mundur.
Setelah perang, gedung kembali berubah fungsi menjadi kantor DKARI (Djawatan Kereta Api Republik Indonesia).
Namun pada 1946, kantor DKARI harus berpindah ke bekas kantor de Zustermaatschappijen karena Lawang Sewu akan menjadi markas tentara Belanda.
Tahun 1994, gedung Lawang Sewu akhirnya kembali diserahkan PT Kereta Api Indonesia yang kemudian dilakukan restorasi pada tahun 2009.
Selanjutnya pada 2011, Ibu Negara Ani Yudhoyono meresmikan bangunan cagar budaya yang kini berstatus sebagai museum dan menjadi saya tarik bagi wisatawan domestik dan mancanegara.
Dilansir dari laman kemenparekraf.go.id, bangunan Lawang Sewu dibangunmenggunakan batu bata keramik berwarna oranye.
Penggunaan batu bata keramik ini saat itu melambangkan sebuah kekayaan, kemakmuran, dan juga menunjukkan kasta tertinggi karena tergolong langka dan harga per-batanya pun sangat mahal.
Gaya bangunan Lawang Sewu ini memiliki ciri dominan berupa elemen lengkung dan sederhana.
Desain bangunannya menyerupai huruf L serta memiliki jumlah jendela dan pintu yang banyak yang berguna sebagai sistem sirkulasi udara.
Selain itu, terdapat ornamen kaca patri pabrikan Johannes Lourens Schouten.
Kaca patri tersebut bercerita tentang kemakmuran dan keindahan Jawa, kekuasaan Belanda atas Semarang dan Batavia, dua kota maritimyang berhasil dikuasai, serta kejayaan kereta api.