Tradisi Syawalan telah berlangsung ratusan tahun yang masih dilakukan hingga saat ini.
Lopis Raksasa merupakan tradisi Syawalan di Krapyak, utara Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Tradisi Syawalan tersebut dilakukan pada 8 Syawal.
Baca juga: Tradisi Syawalan di Kendal, Ribuan Orang Berdoa di Makam Kiai Guru
Lopis raksasa dengan tinggi 2 meter, diameter 1,5 meter, dan berat mencapai 225 kilogram ini akan menjadi rabutan pengunjung untuk mendapatkan berkah.
Tujuan pembuatan lopis tersebut sesuai dengan sifat lopis yang lengket, yaitu untuk mempererat silaturahmi masyarakat Krapyak dan sekitarnya.
Grebeg Syawal digelar setiap 1 Syawal atau bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri.
Tradisi Syawalan tersebut merupakan upacara adat secara turun-temurun di lingkungan Keraton Yogyakarta.
Grebeg Syawal merupakan tujuh gunungan yang berisi hasil bumi yang diiringi oleh pasukan berkuda Keraton Yogyakarta.
Gunungan diarak dari pagelaran keraton menuju halaman Masjid Agung (Masjid gedhe) di Kauman yang berjarak sekitar satu kilometer.
Di masjid, gunungan akan didoakan oleh Kyai Penghulu yang diikuti oleh ulama keraton dan abdi dalem dengan memanjatkan doa kebaikan, kesejahteraan, kemakmuran, dan keselamatan keluarga Sultan dan rakyat pada umumnya.
Setelah di doakan, gunungan akan diperebutkan oleh masyarakat yag tidak hanya ingin mendapatkan makanannya melainkan juga keberkahan serta manfaat hasil bumi.
Grebeg Syawalan Solo diadakan oleh Keraton Kasunanan Surakarta setiap tahun.
Tradisi Grebeg syawalan tersebut disimbolkan dengan dua gunungan, yang akan diperebutkan pada akhir acara oleh masyarakat.
Gunungan pertama berbentuk runcing, seperti tumpeng. Bentuk gunung tersebut melambangkan lingga yang disebut gunungan jaler (laki-laki).
Baca juga: Meriahnya Kirab Gunungan Ketupat, Tradisi Syawalan Unik di Klaten
Gunungan pertama berisi berbagai hasil bumi, seperti kacang panjang, cabe merah besar, wortel, tebu, telur asin, klenyem (terbuat dari singkong yang diisi gula Jawa). Pada bagian bawah berisi tumpeng nasi putih dan lauk-pauk.
Gunungan kedua berbentuk tumpul seperti kubah. Bentuk gunungan tersebut melambangkan yoni yang disebut gunungan Estri (perempuan).
Berbeda dari gunungan pertama, gunungan kedua berisi renggingan mentah yang ditusuk dengan bilah bambu. Pada bagian bawah berisi nasi dan lauk pauk.
Kedua gunungan tersebut merupakan simbol raja beserta kawula dan abdi dalem yang telah berhasil menyelesaikan ibadah puasa selam satu bulan penuh.
Tradisi Grebeg Syawalan merupakan tradisi turun temurun dari Sultan Agung sejak zaman Kerajaan Mataram.
Berbeda dengan Grebeg Syawal di Yogyakarta dan Solo yang menghadirkan gunungan berisi hasil bumi.
Grebeg Syawal di Cirebon merupakan bentuk rasa syukur kepada Allah atas kemenangan melaksanakan ibadah puasa pada bulan Ramadhan.
Grebeg syawal di Cirebon berupa tradisi ziarah kepada para leluhur Cirebon yang telah menyiarkan agama Islam, terutama Sunan Gunung Jati, Pangeran Walangsungsang, dan Sultan-sultan Kanoman yang telah wafat dan dikuburkan di Astana Gunung Sembung.
Tradisi ziarah yang telah berlangsung beberapa abad ini dipimpim Patih Keraton Kanoman. Ziarah juga untuk menjaga silaturahmi keraton dengan masyarakat luas.
Tradisi Bancaan merupakan tradisi perayaan Idul Fitri di masyarakat Kampung Jawa di Singaraja, Bali. Tradisi Bancaan dilakukan setelah selesai Shalat Ied.
Bancaan merupakan tradisi makan bersama yang telah digelar sejak ratusan tahun yang lalu.
Tradisi tersebut merupkan simbol antar umat beragama yang saling menghormati.
Dahulu Bancaan digunakan sebegai perekat silaturahmi masyarakat Kampung Jawa dan Kerajaan Buleleng.
Baca juga: Tradisi Syawalan di Semarang, dari Berbagi Kupat Jembut Hingga Ritual Sesaji Rewanda
Kini, tradisi Bancaan dilestarikan sebagai warisan budaya.