Rusa ini menjadi satwa khas dan endemik di Gunung Tambora. Namun, keberadaan populasinya sudah menurun drastis.
Dengan upaya konservasi yang dilakukan pengelola saat ini, Deny Rahadi berharap, populasi satwa terus bertambah.
Rencananya, setelah populasinya berkembang satwa ini akan dilepas di alam bebas Gunung Tambora.
Baca juga: Laporan Owen Philips dan Bencana Kelaparan Pasca-letusan Tambora 1815
"Tanpa adanya aktivitas konservasi rusa ini akan hilang, punah dari Tambora. Anak cucu kita hanya mendengar di sini ada rusa, tapi tidak tahu rusa itu seperti apa," ungkapnya.
Selain berinteraksi dengan Rusa Timor, tiga tipe ekosistem di wilayah Taman Nasional Tambora melengkapi keindahan pusat pelestarian satwa endemik ini.
Mulai dari tipe ekosistem Sabana, hutan kering luruh daun sampai hutan hujan dataran rendah dan tinggi. Namun, 60 persennya adalah tipe ekosistem sabana.
Menurut Deny Rahadi, hal ini berkaitan langsung dengan sejarah letusan Gunung Tambora 208 tahun lalu.
Saat meletus material gunung tersebut sebagian besar tumpah ke arah selatan, sehingga suksesi areal yang tertimbun hanya berupa sabana.
Baca juga: Melihat Mata Air Hodo dan Benteng Kerajaan yang Terkubur Letusan Tambora
"Material ini batuan bentuknya, makanya sangat sulit ditumbuhi tanaman sehingga tipe ekosistemnya sabana," jelasnya.
Berdasarkan hasil geolistrik yang dilakukan ahli geologi memperkirakan bahwa ketebalan material letusan Tambora di Padang Sabana Doro Ncanga mencapai 800 meter hingga 1 kilometer.
Hal ini juga terlihat di kompleks Sanctuary Rusa Timor, yang mana dari Pos I ini jalur pendakian terus menanjak.
"Dulu kaki gunung ini rata sama dengan di Doro Ncanga. Begitu letusan material nimbun, dari Pos I itu saja jalur sudah mulai menanjak," kata Deny Rahadi.