Tim Kompas.com melakukan Tapak Tilas 208 Tahun Letusan Tambora untuk menelusuri jejak letusan Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat. Nantikan persembahan tulisan berseri kami tentang dampak dahsyatnya letusan besar Tambora pada 10 April 1815.
DOMPU, KOMPAS.com - Bunyi lonceng dari kalung ternak melengking bersahutan di sekitar pintu masuk jalur pendakian Doro Ncanga.
Bunyi dengan ragam suara itu adalah penanda bagi para peternak lokal untuk mengetahui posisi ternak yang sedang dilepas liar.
Ternak-ternak ini juga tampak ditempeli cap bertuliskan abjad inisial pemiliknya, kode daerah asal, dan anting bewarna kuning.
Anting menandakan bahwa ternak tersebut telah divaksinasi dan dinyatakan bebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK).
Baca juga: Mengenal 3 Kerajaan yang Terkubur Saat Tambora Meletus
Pintu masuk jalur pendakian ini diapit lahan tebu milik PT. SMS (Sumbawa Timur Maining). Dari Situs Doro Bente, hanya butuh waktu tempuh sekitar 15 menit.
Berkendara menuju tempat ini harus hati-hati, sebab tak jarang gerombolan ternak sapi dan kerbau yang menyeberang jalan.
Jalur Doro Ncanga merupakan jalur tercepat bagi pendaki menuju puncak Kaldera raksasa Gunung Tambora di antara empat jalur pendakian lain.
Di jalur ini, pengunjung bisa sampai di pos III dengan mengendarai sepeda motor dan dilanjutkan berjalan empat jam menuju puncak Kaldera. Sementara di jalur lain, pendaki harus jalan kaki sejak pos I.
Selain menuju puncak, pengunjung juga bisa menikmati keindahan alam Sanctuary Rusa Timor.
Pusat pelestarian salah satu satwa endemik Gunung Tambora tersebut berada di Pos I jalur pendakian Doro Ncanga.
Setelah beberapa menit berkendara melewati hamparan lahan tebu di sisi kiri dan kanan jalan, akhirnya sampai di padang rumput hijau luas yang memanjakan mata.
Tampak sekawanan ternak merumput dan berteduh di bawah pepohonan.
Ribuan batu vulkanik yang berserakan di atas padang sabana ini, seakan memberi bayangan tentang peristiwa mengerikan yang pernah terjadi di masa silam, yakni meletusnya Gunung Tambora, pada 1815.
Setelah melewati padang rumput beberapa meter, tampak Sanctuary Rusa Timor. Saat Kompas.com tiba di Sanctuary Rusa Timor, matahari masih sangat terik.
Tempat ini jauh dari hingar bingar pengunjung. Hanya ada beberapa petugas di kantor pengelola.
Baca juga: Kiamat Tambora, April 1815
"Hampir semua taman nasional memiliki sanctuary. Terlebih khusus dia punya flora dan fauna endemik. Kalau kita di sini faunanya Rusa Timor, dia satwa endemik Tambora," kata Aditiya Akbar Nauval, Staf SPTN II Pekat dan Kempo BTN Tambora.
Sebagai salah satu jalur pendakian menuju puncak Gunung Tambora, tempat ini selain dilengkapi kantor pengelola dan mushola, juga menyediakan empat unit penginapan dengan desain mengerucut seperti rumah panggung.
Bahan bangunan yang sebagian besar dari kayu menambah kesan alami tempat penginapan tersebut.
Bagi pengunjung, cukup mengeluarkan biaya Rp 250.000 per malam untuk menikmati kelas VIP, dan Rp 200.000 untuk kelas twin atau biasa.
Selain itu, tak sedikit wisatawan datang menikmati atraksi Rusa Timor, mengabadikan momen perjalanan dengan latar teluk saleh, dan juga melihat langsung puncak Gunung Tambora.
"Dari tempat ini puncak Tambora bisa terlihat jelas saat cuaca cerah. Tapi sekarang suasana puncak masih tertutup oleh kabut," ungkapnya.
Sanctuary Rusa Timor berada pada ketinggian 300 meter di atas permukaan laut (MDPL).
Meski di tak dapat melihat langsung puncak tambora, namun dari Sanctuary itu, bisa melihat pemandangan laut teluk saleh dengan gugusan pulau-pulau kecil.
Bertemu dan berinteraksi dengan Rusa Timor di lokasi penangkaran juga menjadi pengalaman perjalanan yang menarik.
"Di sini teman-teman bisa melakukan wisata silent. Karena privasi betul, ada empat guest house, mushala, kantor pengelola dan atraksi kandang rusa seluas 2 hektare," kata Kepala Balai Taman Nasional Gunung Tambora (BTNGT), Deny Rahadi.
Rusa Timor atau Cervus Timorensis adalah satu dari enam unsur yang menjadi maskot Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Rusa ini menjadi satwa khas dan endemik di Gunung Tambora. Namun, keberadaan populasinya sudah menurun drastis.
Dengan upaya konservasi yang dilakukan pengelola saat ini, Deny Rahadi berharap, populasi satwa terus bertambah.
Rencananya, setelah populasinya berkembang satwa ini akan dilepas di alam bebas Gunung Tambora.
Baca juga: Laporan Owen Philips dan Bencana Kelaparan Pasca-letusan Tambora 1815
"Tanpa adanya aktivitas konservasi rusa ini akan hilang, punah dari Tambora. Anak cucu kita hanya mendengar di sini ada rusa, tapi tidak tahu rusa itu seperti apa," ungkapnya.
Selain berinteraksi dengan Rusa Timor, tiga tipe ekosistem di wilayah Taman Nasional Tambora melengkapi keindahan pusat pelestarian satwa endemik ini.
Mulai dari tipe ekosistem Sabana, hutan kering luruh daun sampai hutan hujan dataran rendah dan tinggi. Namun, 60 persennya adalah tipe ekosistem sabana.
Saat meletus material gunung tersebut sebagian besar tumpah ke arah selatan, sehingga suksesi areal yang tertimbun hanya berupa sabana.
Baca juga: Melihat Mata Air Hodo dan Benteng Kerajaan yang Terkubur Letusan Tambora
"Material ini batuan bentuknya, makanya sangat sulit ditumbuhi tanaman sehingga tipe ekosistemnya sabana," jelasnya.
Berdasarkan hasil geolistrik yang dilakukan ahli geologi memperkirakan bahwa ketebalan material letusan Tambora di Padang Sabana Doro Ncanga mencapai 800 meter hingga 1 kilometer.
Hal ini juga terlihat di kompleks Sanctuary Rusa Timor, yang mana dari Pos I ini jalur pendakian terus menanjak.
"Dulu kaki gunung ini rata sama dengan di Doro Ncanga. Begitu letusan material nimbun, dari Pos I itu saja jalur sudah mulai menanjak," kata Deny Rahadi.