Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenang 208 Tahun Letusan Gunung Tambora dari Garis Keturunan Penduduk Desa Oi Bura

Kompas.com - 10/04/2023, 13:55 WIB
Junaidin,
Pythag Kurniati

Tim Redaksi

Sulaiman tak pernah melakukan ritual khusus, ia hanya mengisi malam pada 10 dan 11 April untuk mendoakan arwah para leluhurnya yang terkubur letusan Gunung Tambora, 1815.

"Sederhana saja, kami sekeluarga hanya mendoakan arwah leluhur, tidak ada ritual-ritual khusus," kata Sulaiman.

Cerita turun-temurun

Sebelum meletus dunia pada April 1815, Gunung Tambora menjadi jantung kehidupan bagi penduduk yang menetap di lerengnya.

Kala itu masyarakat hidup berkelompok di bawah naungan tiga kerajaan, yakni Kerajaan Tambora, Pekat dan Sanggar.

Masyarakat mengandalkan hasil alam yang ada untuk ditukar dengan rempah-rempah serta barang berharga yang dibawa oleh para pedagang dari luar.

Seperti halnya padi, jagung, satwa hasil buruan dan gerabah dari tanah liat ditukar dengan satu buah cangkir, piring, pisau, keris serta benda-benda yang dianggap unik.

"Masyarakat saat itu bercocok tanam, berburu, tapi mereka suka tukar menukar dengan para nelayan yang berasal dari Jepang, Cina dan lainnya," kata Sulaiman mengulas cerita sejarah yang disampaikan leluhurnya secara turun-temurun.

Baca juga: Mengenal Gunung Tambora yang Letusannya Membuat Dunia Merasakan Tahun Tanpa Musim Panas

Meski hidup rukun berkelompok di bawah naungan kerajaan, masyarakat kala itu belum mengenal agama. Mereka bebas mengonsumsi hasil buruan apa saja seperti rusa, babi dan anjing.

Suatu ketika, kata dia,  datang seorang ulama dari Arab di tanah Tambora. Kedatangannya bukan untuk mengajak warga memeluk Islam.

Dia hanya mengenalkan bahwa dalam Islam, agama yang diyakininya sangat dilarang mengonsumsi daging babi dan anjing.

Ucapan ulama ini, ujar Sulaiman, kemudian menyebar ke seluruh penduduk di tanah Tambora. Bahkan, para raja sampai menggelar pertemuan untuk membicarakan pernyataan ulama yang dianggap meresahkan penduduk tersebut.

Dalam sebuah jamuan makam malam, sang ulama ini kemudian diundang oleh para raja dan penduduknya.

Ulama tersebut diberi hidangan makan daging yang ternyata itu adalah daging anjing hasil buruan penduduk yang disebutnya haram.

Konon, karena murka sang pencipta atas tindakan penduduk terhadap ulama besar itu, Gunung Tambora pada April 1815 kemudian meletus dan mengubur raja beserta penduduknya.

"Pada 5 April mulai keluar asap di ketinggian gunung. Kemudian 10 April meletus pada jam 8 malam hari Kamis," ungkap Sulaiman.

Baca juga: 4 Jalur Pendakian Gunung Tambora NTB Dibuka, Catat Syarat Mendakinya

Cerita rakyat yang dipercaya masyarakat sebagai asal muasal malapetaka hebat di tanah Tambora tersebut juga dituturkan Syahwan.

Warga Desa Calabai, Kecamatan Pekat, itu mendengar kisah ulama murka dan menghilang setelah diberi makan daging anjing oleh raja dan penduduknya dari sang kakek bernama Abdullah.

Abdullah disebut memiliki garis keturunan dengan warga yang hidup saat letusan Tambora, 1815.

Beberapa tahun setelah letusan itu terjadi pada 10 April malam, konon sang ulama ini kembali ke tanah Tambora untuk memohon ampun atas apa yang telah terjadi.

"Seketika itu juga pohon-pohon tumbuh, yang tidak hadir kembali itu hanya buatan manusia, seperti rumah dan bangunan kerajaan," ungkapnya.

Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat. (Sumber: BTN Tambora) Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat. (Sumber: BTN Tambora)

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Polisi Tangkap Penipu Modus Jual Barang di Aplikasi Belanja Online

Polisi Tangkap Penipu Modus Jual Barang di Aplikasi Belanja Online

Regional
Kecelakaan di Pontianak, 2 Bocah Penjual Kue Meninggal

Kecelakaan di Pontianak, 2 Bocah Penjual Kue Meninggal

Regional
Longsor di Sitinjau Lauik, 2 Warga Dilaporkan Hilang, Diduga Tertimbun

Longsor di Sitinjau Lauik, 2 Warga Dilaporkan Hilang, Diduga Tertimbun

Regional
Puslabfor Olah TKP Gudang BBM Terbakar, Temukan Mobil Tanki Dimodifikasi

Puslabfor Olah TKP Gudang BBM Terbakar, Temukan Mobil Tanki Dimodifikasi

Regional
Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian Baru, Gibran: Masih Dibahas, Digodok Lagi

Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian Baru, Gibran: Masih Dibahas, Digodok Lagi

Regional
Longsor di Sitinjau Lauik, Jalan Padang-Solok Ditutup

Longsor di Sitinjau Lauik, Jalan Padang-Solok Ditutup

Regional
Truk Pengangkut Pertalite Terguling dan Terbakar di Bangka Tengah

Truk Pengangkut Pertalite Terguling dan Terbakar di Bangka Tengah

Regional
Pelaku Pembunuhan Bos Kerajinan Tembaga di Boyolali Kenal Korban Lewat MiChat

Pelaku Pembunuhan Bos Kerajinan Tembaga di Boyolali Kenal Korban Lewat MiChat

Regional
Incar Nasabah Bank, Pencuri Bermodus Gembos Ban di Serang Banten Ditangkap

Incar Nasabah Bank, Pencuri Bermodus Gembos Ban di Serang Banten Ditangkap

Regional
Banjir Rob Demak, 73 Rumah di Dukuh Pangkalan Tergenang dan 4 Lainnya Ditinggal Pemilik

Banjir Rob Demak, 73 Rumah di Dukuh Pangkalan Tergenang dan 4 Lainnya Ditinggal Pemilik

Regional
TNI Pergoki Penyelundup Pakaian Rombengan Impor di Pulau Sebatik, 4 Pelaku Kabur ke Malaysia

TNI Pergoki Penyelundup Pakaian Rombengan Impor di Pulau Sebatik, 4 Pelaku Kabur ke Malaysia

Regional
Nakhoda Kapal Pembawa Pengungsi Rohingya ke Aceh Dituntut 7 Tahun Penjara

Nakhoda Kapal Pembawa Pengungsi Rohingya ke Aceh Dituntut 7 Tahun Penjara

Regional
Pesisir Selatan Sumbar Dilanda Banjir, 1 Jembatan Ambruk dan Ratusan Rumah Terendam

Pesisir Selatan Sumbar Dilanda Banjir, 1 Jembatan Ambruk dan Ratusan Rumah Terendam

Regional
Diguyur Hujan Deras, 1.695 Rumah di OKU Terendam Banjir

Diguyur Hujan Deras, 1.695 Rumah di OKU Terendam Banjir

Regional
Cerita Ibu yang Anaknya Muntah-muntah Diduga Keracunan Bubur Pemberian DPPKB

Cerita Ibu yang Anaknya Muntah-muntah Diduga Keracunan Bubur Pemberian DPPKB

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com