Sulaiman tak pernah melakukan ritual khusus, ia hanya mengisi malam pada 10 dan 11 April untuk mendoakan arwah para leluhurnya yang terkubur letusan Gunung Tambora, 1815.
"Sederhana saja, kami sekeluarga hanya mendoakan arwah leluhur, tidak ada ritual-ritual khusus," kata Sulaiman.
Sebelum meletus dunia pada April 1815, Gunung Tambora menjadi jantung kehidupan bagi penduduk yang menetap di lerengnya.
Kala itu masyarakat hidup berkelompok di bawah naungan tiga kerajaan, yakni Kerajaan Tambora, Pekat dan Sanggar.
Masyarakat mengandalkan hasil alam yang ada untuk ditukar dengan rempah-rempah serta barang berharga yang dibawa oleh para pedagang dari luar.
Seperti halnya padi, jagung, satwa hasil buruan dan gerabah dari tanah liat ditukar dengan satu buah cangkir, piring, pisau, keris serta benda-benda yang dianggap unik.
"Masyarakat saat itu bercocok tanam, berburu, tapi mereka suka tukar menukar dengan para nelayan yang berasal dari Jepang, Cina dan lainnya," kata Sulaiman mengulas cerita sejarah yang disampaikan leluhurnya secara turun-temurun.
Baca juga: Mengenal Gunung Tambora yang Letusannya Membuat Dunia Merasakan Tahun Tanpa Musim Panas
Meski hidup rukun berkelompok di bawah naungan kerajaan, masyarakat kala itu belum mengenal agama. Mereka bebas mengonsumsi hasil buruan apa saja seperti rusa, babi dan anjing.
Suatu ketika, kata dia, datang seorang ulama dari Arab di tanah Tambora. Kedatangannya bukan untuk mengajak warga memeluk Islam.
Dia hanya mengenalkan bahwa dalam Islam, agama yang diyakininya sangat dilarang mengonsumsi daging babi dan anjing.
Ucapan ulama ini, ujar Sulaiman, kemudian menyebar ke seluruh penduduk di tanah Tambora. Bahkan, para raja sampai menggelar pertemuan untuk membicarakan pernyataan ulama yang dianggap meresahkan penduduk tersebut.
Dalam sebuah jamuan makam malam, sang ulama ini kemudian diundang oleh para raja dan penduduknya.
Ulama tersebut diberi hidangan makan daging yang ternyata itu adalah daging anjing hasil buruan penduduk yang disebutnya haram.
Konon, karena murka sang pencipta atas tindakan penduduk terhadap ulama besar itu, Gunung Tambora pada April 1815 kemudian meletus dan mengubur raja beserta penduduknya.
"Pada 5 April mulai keluar asap di ketinggian gunung. Kemudian 10 April meletus pada jam 8 malam hari Kamis," ungkap Sulaiman.
Baca juga: 4 Jalur Pendakian Gunung Tambora NTB Dibuka, Catat Syarat Mendakinya
Cerita rakyat yang dipercaya masyarakat sebagai asal muasal malapetaka hebat di tanah Tambora tersebut juga dituturkan Syahwan.
Warga Desa Calabai, Kecamatan Pekat, itu mendengar kisah ulama murka dan menghilang setelah diberi makan daging anjing oleh raja dan penduduknya dari sang kakek bernama Abdullah.
Abdullah disebut memiliki garis keturunan dengan warga yang hidup saat letusan Tambora, 1815.
Beberapa tahun setelah letusan itu terjadi pada 10 April malam, konon sang ulama ini kembali ke tanah Tambora untuk memohon ampun atas apa yang telah terjadi.
"Seketika itu juga pohon-pohon tumbuh, yang tidak hadir kembali itu hanya buatan manusia, seperti rumah dan bangunan kerajaan," ungkapnya.