Salin Artikel

Mengenang 208 Tahun Letusan Gunung Tambora dari Garis Keturunan Penduduk Desa Oi Bura

DOMPU, KOMPAS.com - Hari ini, 208 tahun lalu, tepat pada 10 April 1815 malam, letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), menggemparkan dunia.

Dengan kekuatan 7 Volcanic Explosivity Index (VEI), letusan gunung ini tercatat sebagai salah satu yang terhebat dalam sejarah manusia.

208 tahun peristiwa itu berlalu. Sulaiman, menceritakan kisah leluhurnya saat letusan Tambora terjadi.

Warga Dusun Tambora, Desa Oi Bura, Kecamatan Tambora ini masih memiliki hubungan darah dengan penduduk terdahulu yang hidup saat letusan Tambora, 1815.

Sulaiman saat ini menjabat sebagai Kepala Dusun Tambora. Dia juga dipercaya menjadi juru perawat Situs Tambora di So Sori Sumba, Desa Oi Bura.

Di sela kesibukan mengurus 256 kepala keluarga (KK) di Dusun Tambora, Sulaiman mengisi hari-harinya untuk menggarap lahan kopi.

Saat ada waktu senggang, ia menyempatkan diri untuk melihat jejak kerajaan yang terkubur letusan dahsyat Gunung Tambora, 1815.

Sampai saat ini sudah banyak temuan benda yang diyakini menyimpan sejarah saat Gunung Tambora meletus.

Mulai dari pecahan keramik, gerabah tanah liat, pisau, gigi manusia, padi yang sudah menjadi arang, dan sejumlah temuan lainnya.

Benda-benda tersebut, selain ditemukan di areal Situs Tambora, juga banyak berasal dari salah satu tempat yang menurutnya masih dirahasiakan.

Tempat yang diduga sebagai letak Kerajaan Tambora itu belum pernah terdeteksi alat para peneliti milik Balai Arkeologi (Balar).

"Ada tempat itu, lokasinya tidak jauh dari Situs Tambora," cetus Sulaiman.

Menurutnya, tempat rahasia itu masih rimbun oleh pepohonan besar dan semak belukar.

Untuk melihatnya harus berjalan kaki menyusuri jalan setapak, namun saat musim hujan seperti ini kondisi jalur tak memungkinkan untuk dilalui.

Bagi Sulaiman, benda-benda yang dikumpulkan ini cukup menjadi penguat dugaannya tentang letak Kerajaan Tambora, juga sebagai alasan pembenar kepada warga lokal yang ingin mengetahui sejarah letusan Tambora.

10 April 2023 ini, genap 208 tahun letusan Gunung Tambora. Namun, disesalinya tak ada agenda khusus yang digelar instansi terkait untuk mengenang duka para leluhur di hari letusan hebat itu terjadi.

Dalam catatan Bo Sangaji Kai Bima, lanjut Sulaiman, malapetaka itu membunuh sekitar 92.000 jiwa penduduk Kerjaan Tambora, Pekat dan Sanggar.

Peristiwa itu semestinya menjadi momen penting untuk diperingati setiap tahunnya di Semenanjung Sanggar.

"Sedianya memang harus ada kegiatan untuk mengenang arwah orangtua kita dulu. Karena letusan Tambora ini sangat dahsyat, sampai terasa di Eropa dan banyak orang mati kelaparan," ungkapnya.

Sulaiman tak pernah melakukan ritual khusus, ia hanya mengisi malam pada 10 dan 11 April untuk mendoakan arwah para leluhurnya yang terkubur letusan Gunung Tambora, 1815.

"Sederhana saja, kami sekeluarga hanya mendoakan arwah leluhur, tidak ada ritual-ritual khusus," kata Sulaiman.

Cerita turun-temurun

Sebelum meletus dunia pada April 1815, Gunung Tambora menjadi jantung kehidupan bagi penduduk yang menetap di lerengnya.

Kala itu masyarakat hidup berkelompok di bawah naungan tiga kerajaan, yakni Kerajaan Tambora, Pekat dan Sanggar.

Masyarakat mengandalkan hasil alam yang ada untuk ditukar dengan rempah-rempah serta barang berharga yang dibawa oleh para pedagang dari luar.

Seperti halnya padi, jagung, satwa hasil buruan dan gerabah dari tanah liat ditukar dengan satu buah cangkir, piring, pisau, keris serta benda-benda yang dianggap unik.

"Masyarakat saat itu bercocok tanam, berburu, tapi mereka suka tukar menukar dengan para nelayan yang berasal dari Jepang, Cina dan lainnya," kata Sulaiman mengulas cerita sejarah yang disampaikan leluhurnya secara turun-temurun.

Meski hidup rukun berkelompok di bawah naungan kerajaan, masyarakat kala itu belum mengenal agama. Mereka bebas mengonsumsi hasil buruan apa saja seperti rusa, babi dan anjing.

Suatu ketika, kata dia,  datang seorang ulama dari Arab di tanah Tambora. Kedatangannya bukan untuk mengajak warga memeluk Islam.

Dia hanya mengenalkan bahwa dalam Islam, agama yang diyakininya sangat dilarang mengonsumsi daging babi dan anjing.

Ucapan ulama ini, ujar Sulaiman, kemudian menyebar ke seluruh penduduk di tanah Tambora. Bahkan, para raja sampai menggelar pertemuan untuk membicarakan pernyataan ulama yang dianggap meresahkan penduduk tersebut.

Dalam sebuah jamuan makam malam, sang ulama ini kemudian diundang oleh para raja dan penduduknya.

Ulama tersebut diberi hidangan makan daging yang ternyata itu adalah daging anjing hasil buruan penduduk yang disebutnya haram.

Konon, karena murka sang pencipta atas tindakan penduduk terhadap ulama besar itu, Gunung Tambora pada April 1815 kemudian meletus dan mengubur raja beserta penduduknya.

"Pada 5 April mulai keluar asap di ketinggian gunung. Kemudian 10 April meletus pada jam 8 malam hari Kamis," ungkap Sulaiman.

Cerita rakyat yang dipercaya masyarakat sebagai asal muasal malapetaka hebat di tanah Tambora tersebut juga dituturkan Syahwan.

Warga Desa Calabai, Kecamatan Pekat, itu mendengar kisah ulama murka dan menghilang setelah diberi makan daging anjing oleh raja dan penduduknya dari sang kakek bernama Abdullah.

Abdullah disebut memiliki garis keturunan dengan warga yang hidup saat letusan Tambora, 1815.

Beberapa tahun setelah letusan itu terjadi pada 10 April malam, konon sang ulama ini kembali ke tanah Tambora untuk memohon ampun atas apa yang telah terjadi.

"Seketika itu juga pohon-pohon tumbuh, yang tidak hadir kembali itu hanya buatan manusia, seperti rumah dan bangunan kerajaan," ungkapnya.

Syahwan mengaku, tidak ada ritual khusus yang dilakukannya bersama warga setempat pada hari letusan hebat itu terjadi.

Dia hanya bisa mengirim doa untuk arwah para leluhur yang terkubur malapetaka itu agar tenang dalam persemayamannya.

"Saya hanya bisa mengirimkan Al-Fatihah saja, tidak ada ritual-ritual tertentu," kata Syahwan.

Kehidupan Masyarakat Kini

Setelah 208 tahun peristiwa mengerikan itu terjadi, Gunung Tambora kini dipadati para pendatang dari berbagai daerah dengan latar belakang agama yang berbeda.

Seperti halnya di Dusun Tambora, Desa Oi Bura, Kecamatan Tambora. Dari 256 kepala keluarga (KK) yang menetap, 30 KK di antaranya beragama Hindu.

Kemudian 9 KK Kristen Protestan, 7 KK Kristen Katolik, dan sisanya beragama Islam.

Mereka hidup rukun berdampingan, bahkan saling membantu saat ada perayaan hari besar keagamaan.

Sebagian besar warga di wilayah ini berprofesi sebagai petani kopi. Namun, lahan garapannya masih berstatus kawasan hutan negara.

Wahyudin, salah seorang warga di Desa Oi Bura menuturkan, hasil alam berupa kopi ini dijual ke sejumlah tengkulak yang datang langsung ke lahan saat masa panen tiba.

Biasanya kopi dibeli dengan harga sekitar Rp 20.000 per kilogram.

Selain menggantungkan hidup pada hasil kebun kopi, pria tersebut juga memanfaatkan waktu luangnya untuk mencari madu hutan.

Meski hasilnya tak seberapa, namun cukup untuk membiayai hidup istri dan anak-anaknya.

"Alhamdulillah, hasilnya lumayan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga," ungkapnya.

Bagi Wahyudin, Tambora memiliki kekayaan alam yang melimpah, bahkan sebagian besar hasil perkebunan yang beredar di pasar raya baik di Kecamatan Pekat, Dompu dan Bima berasal dari tanah Tambora.

"Seperti kopi, jeruk, pisang itu kebanyakan dari Oi Bura," ujarnya.

Pantauan Kompas.com selama menempuh perjalanan dari Desa Pancasila menuju Dusun Tambora, Desa Oi Bura, Kecamatan Tambora, sisi kiri dan kanan jalan raya tampak rumah-rumah warga disekat oleh lahan kopi dan alpukat.

Sebagian ada yang ditanami jagung, pisang dan komoditi pertanian lainnya.

Selama lebih kurang 1 jam menyusuri jalan tanah menggunakan sepeda motor, tak jarang dijumpai warga yang tengah membersihkan kebun kopi, juga mengambil sayur pakis untuk dijual di pasar.

https://regional.kompas.com/read/2023/04/10/135551878/mengenang-208-tahun-letusan-gunung-tambora-dari-garis-keturunan-penduduk

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke