Awe juga mengaku perusahaan tempatnya mendaftar, ternyata dikendalikan oleh warga negara asing (WNA) keturunan Arab yang berada di Jakarta.
Perusahaan ini hanya bertanggungjawab untuk biaya pemberangkatan, dan mencari tenaga kerja dari Indonesia.
“Selama berada di penampungan, perusahaan saya mendaftar itu hilang dan tidak ada komunikasi lagi. Intinya saya sebagai perempuan, juga harus tetap waspada dalam menjaga diri,” lirih Awe.
Setelah empat minggu berlalu, Awe kemudian diberangkatkan menuju Arab Saudi melalui jalur darat.
Baca juga: 5 PMI Asal Lampung Dipulangkan dari Malaysia, Jadi Korban Penyaluran TKI Ilegal
Saat itu, Awe mengaku telah mendapatkan visa yang dipegang oleh pendamping.
“Namun saya juga tidak visa itu visa apa, karena saya tidak diizinkan untuk melihatnya apalagi memegangnya. Semua diurus oleh agen yang mendampingi kami di perjalanan menuju Arab Saudi,” jelas Awe.
Setibanya di Arab Saudi, kemudian Awe mendapatkan pekerjaan sebagai PRT bagi majikannya yang bertempat tinggal di Madinah selama 30 hari, kemudian dipindahkan untuk bekerja bagi majikan lain yang tinggal di Riyad.
Namun selama bekerja beberapa bulan, Awe mengaku hanya tiga bulan mendapat honor dari perusahaan penyalurnya.
Hal ini kemudian membuat dirinya berontak, dan kerap mempertanyakan gajinya.
“Namun bukan jawaban, saya malah sering dapat kekerasan fisik. Dari sini saya sadar akan kesalahan saya, dan saya yang sepertinya menjadi korban perdagangan orang. Hingga akhirnya saya bisa mendapat kesempatan untuk melarikan diri dengan bantuan anak majikan saya,” kata Awe.
Kesempatan ini diakuinya berawal dari informasi yang diberikan Awe kepada anak majikannya, saat mendapat pekerjaan untuk mengurus manula.
Awe mengaku mengetahui pekerjaan sang anak yang merupakan anggota Kepolisian setempat.
Dari cerita ini, Awe kemudian mendapat penjelasan bahwa keberadaannya di Arab Saudi masuk kedalam kategori "undocumented" atau bekerja sebagai pekerja migran non-prosedural atau yang lebih dikenal ilegal.
“Bahkan visa yang saya pergunakan merupakan visa untuk ziarah,” kenang Awe.
Awe sempat mendapatkan beberapa opsi untuk kembali ke Indonesia.
Mulai dari harus melalui prosedur hukum, dan harus menjalani kurungan penjara di Arab Saudi.
Walau demikian, Awe mengaku belum menerima pilihan ini dikarenakan ingin memperjuangkan hak atas gaji selama bekerja beberapa bulan sebagai pekerja di perusahan penyalur tenaga kerja tersebut.
Baca juga: Jadi Calo TKI Ilegal di Batam, Seorang Warga Malaysia Ditangkap
Namun bukannya mendapat gaji, Awe kemudian ditawarkan untuk bekerja di Desa Laynah yang merupakan wilayah perbatasan Arab Saudi.
Awe mengaku terpaksa menerima tawaran ini, hanya untuk menyambung hidup.
Bahkan beberapa kali, Awe yang merupakan pekerja dengan sistem pulang balik penampungan, kerap membawa makanan dari rumah majikannya untuk disantap bersama.
“Karena kalau ada yang tidak mau mengambil pekerjaan yang dikasih. Maka dia tidak akan mendapat makan, hanya dikasih kurma saja. Saya pernah merasakan itu saat saya berontak mempertanyakan gaji saya selama bekerja. Intinya saya dan teman-teman di penampungan, mau ambil pekerjaan agar bisa makan,” kenang Awe.
Bekerja di Laynah, Awe harus bekerja selama 22 jam dalam sehari, sebagai PRT di rumah majikannya dan menjaga keempat anak majikannya.
Di sini, Awe mengaku sempat melawan majikannya karena tidak diberikan waktu istirahat.
“Majikan hanya memberikan waktu dua jam untuk beristirahat, karena majikan saya mengaku dirinya telah membayar upah sebesar Rp 16 juta kepada pihak perusahaan. Dari penjelasan ini, saya kemudian memberanikan diri untuk menceritakan bahwa uang tersebut tidak akan pernah diterimanya,” ungkap Awe.
“Mendengar cerita saya itu, barulah mereka sedikit iba mendengar cerita saya. Di desa itu saya juga tidak sampai satu bulan, sebelum akhirnya saya dikembalikan ke pihak perusahaan. Saat kembali ini, saya memantapkan diri untuk mengambil pilihan kembali ke Indonesia melalui jalur penjara. Ide ini kemudian saya ceritakan kepada dua rekan saya yang sama-sama berasal dari Indonesia,” tambah Awe.