Salin Artikel

Cerita Mantan Buruh Migran Ilegal di Arab Saudi, Harus Dipenjara demi Bisa Pulang

Seperti yang dialami Raja Hasmidah atau yang akrab disapa Awe, seorang pekerja migran non-prosedural yang diperkerjakan di Arab Saudi. 

Dia terpaksa harus mendekam dipenjara terlebih dahulu sebelum akhirnya dipulangkan ke Tanah Air melalui jalur deportasi.

Tidak saja di Penjara, bahkan selama bekerja di Arab Saudi lebih kurang satu tahun sebagai pembantu rumah tangga, Awe sama sekali tidak pernah mendapatkan gaji, selain honor.

Bahkan Awe bersama pekerja migran lainnya yang berada di Arab Saudi rela kerja apa saja hanya untuk menyambung hiodup.

“Bisa dikatakan, bekerja hanya untuk bisa makan buat sehari-hari, padahal saya melakukan ini, semata-mata alasan ekonomilah, sehingga saya menerima tawaran dari sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja yang saya dapatkan dari media sosial,” kenang Awe saat ditemui di Shelter Theresia, Kota Batam, Rabu (5/4/2023).

Perempuan asal Kabupaten Natuna ini awalnya menghubungi salah satu perusahaan penyalur buruh migram pada 2021.

Perusahaan itu akhirnya memberikan penawaran pekerjaan sebagai asisten rumah tangga di Arab Saudi dan memfasilitasi keberangkatan Awe dari Batam menuju Arab Saudi via Jakarta.

Setibanya di Jakarta, dia dijemput oleh beberapa orang yang mengaku dari pihak perusahaan.

Dengan transportasi yang telah disediakan, Awe kemudian dibawa ke sebuah kamar kost.

“Sebenarnya saya sudah curiga, kenapa tidak dibawa ke perusahaan melainkan ke kosan. Namun mereka menjawab bahwa perusahaan tutup akibat pandemi Covid-19, hal ini terdengar masuk akal dan saya mengiyakan saja,” cerita Awe.

Dari kosan, kemudian Awe mengaku dipindahkan ke lokasi penampungan yang berada di Jakarta Timur.

Di sana Awe bertemu dengan beberapa calon buruh migran lain dari berbagai daerah di Indonesia.

Awe sendiri mengaku proses keberangkatannya ke Arab Saudi tergolong cepat, jika dihitung dari waktu pengurusan berkas yang dilakukan oleh pihak perusahaan.

Walau demikian, proses pemberangkatannya diakui Awe sangat mencurigakan, termasuk keberangkatan melalui jalur bandara yang tidak disertai dengan visa.

“Saya pikir langsung diterbangkan ke Arab, rupanya kami menuju Dubai terlebih dahulu. Di sana lagi-lagi kami ditempatkan di lokasi penampungan yang berada di Yordania," papar Awe.

Awe kemudian menggambarkan kondisi memprihatinkan yang disaksikannya saat tiba di lokasi penampungan ini.

Ada wanita yang sudah berusia lanjut, ada yang hamil, dan beberapa yang memang kondisinya memprihatinkan karena stres akibat tidak bisa pulang.

“Mirisnya lagi, dari mereka hanya sedikit yang punya paspor,” cerita Awe.

Selama empat minggu berada di lokasi penampungan ini, Awe juga menceritakan mengenai bentuk kekerasan fisik, maupun kekerasan seksual yang dihadapi oleh para pekerja di lokasi penampungan.

Bahkan para perempuan dari Indonesia ini, kerap dianggap sebagai piala untuk diperebutkan oleh pengurus penampungan tempatnya berada.

“Hampir setiap malam beberapa Tenaga Kerja Wanita (TKW) dipanggil keluar ruangan, dan kemudian kembali lagi setelah tengah malam. Dari sana saya mendengar cerita bahwa TKI dari Indonesia, seperti trophy di sana,” ungkap Awe.


Awe juga mengaku perusahaan tempatnya mendaftar, ternyata dikendalikan oleh warga negara asing (WNA) keturunan Arab yang berada di Jakarta.

Perusahaan ini hanya bertanggungjawab untuk biaya pemberangkatan, dan mencari tenaga kerja dari Indonesia.

“Selama berada di penampungan, perusahaan saya mendaftar itu hilang dan tidak ada komunikasi lagi. Intinya saya sebagai perempuan, juga harus tetap waspada dalam menjaga diri,” lirih Awe.

Setelah empat minggu berlalu, Awe kemudian diberangkatkan menuju Arab Saudi melalui jalur darat.

Saat itu, Awe mengaku telah mendapatkan visa yang dipegang oleh pendamping.

“Namun saya juga tidak visa itu visa apa, karena saya tidak diizinkan untuk melihatnya apalagi memegangnya. Semua diurus oleh agen yang mendampingi kami di perjalanan menuju Arab Saudi,” jelas Awe.

Setibanya di Arab Saudi, kemudian Awe mendapatkan pekerjaan sebagai PRT bagi majikannya yang bertempat tinggal di Madinah selama 30 hari, kemudian dipindahkan untuk bekerja bagi majikan lain yang tinggal di Riyad.

Namun selama bekerja beberapa bulan, Awe mengaku hanya tiga bulan mendapat honor dari  perusahaan penyalurnya.

Hal ini kemudian membuat dirinya berontak, dan kerap mempertanyakan gajinya.

“Namun bukan jawaban, saya malah sering dapat kekerasan fisik. Dari sini saya sadar akan kesalahan saya, dan saya yang sepertinya menjadi korban perdagangan orang. Hingga akhirnya saya bisa mendapat kesempatan untuk melarikan diri dengan bantuan anak majikan saya,” kata Awe.

Kesempatan ini diakuinya berawal dari informasi yang diberikan Awe kepada anak majikannya, saat mendapat pekerjaan untuk mengurus manula.

Awe mengaku mengetahui pekerjaan sang anak yang merupakan anggota Kepolisian setempat.

Dari cerita ini, Awe kemudian mendapat penjelasan bahwa keberadaannya di Arab Saudi masuk kedalam kategori "undocumented" atau bekerja sebagai pekerja migran non-prosedural atau yang lebih dikenal ilegal.

“Bahkan visa yang saya pergunakan merupakan visa untuk ziarah,” kenang Awe.

Awe sempat mendapatkan beberapa opsi untuk kembali ke Indonesia.

Mulai dari harus melalui prosedur hukum, dan harus menjalani kurungan penjara di Arab Saudi.

Walau demikian, Awe mengaku belum menerima pilihan ini dikarenakan ingin memperjuangkan hak atas gaji selama bekerja beberapa bulan sebagai pekerja di perusahan penyalur tenaga kerja tersebut.

Namun bukannya mendapat gaji, Awe kemudian ditawarkan untuk bekerja di Desa Laynah yang merupakan wilayah perbatasan Arab Saudi.

Awe mengaku terpaksa menerima tawaran ini, hanya untuk menyambung hidup.

Bahkan beberapa kali, Awe yang merupakan pekerja dengan sistem pulang balik penampungan, kerap membawa makanan dari rumah majikannya untuk disantap bersama.

“Karena kalau ada yang tidak mau mengambil pekerjaan yang dikasih. Maka dia tidak akan mendapat makan, hanya dikasih kurma saja. Saya pernah merasakan itu saat saya berontak mempertanyakan gaji saya selama bekerja. Intinya saya dan teman-teman di penampungan, mau ambil pekerjaan agar bisa makan,” kenang Awe.

Bekerja di Laynah, Awe harus bekerja selama 22 jam dalam sehari, sebagai PRT di rumah majikannya dan menjaga keempat anak majikannya.

Di sini, Awe mengaku sempat melawan majikannya karena tidak diberikan waktu istirahat.

“Majikan hanya memberikan waktu dua jam untuk beristirahat, karena majikan saya mengaku dirinya telah membayar upah sebesar Rp 16 juta kepada pihak perusahaan. Dari penjelasan ini, saya kemudian memberanikan diri untuk menceritakan bahwa uang tersebut tidak akan pernah diterimanya,” ungkap Awe.

“Mendengar cerita saya itu, barulah mereka sedikit iba mendengar cerita saya. Di desa itu saya juga tidak sampai satu bulan, sebelum akhirnya saya dikembalikan ke pihak perusahaan. Saat kembali ini, saya memantapkan diri untuk mengambil pilihan kembali ke Indonesia melalui jalur penjara. Ide ini kemudian saya ceritakan kepada dua rekan saya yang sama-sama berasal dari Indonesia,” tambah Awe.


Untuk menjalankan rencana pelarian diri ini, yang akan dijalankan menjelang akhir 2021, Awe mengaku kembali menerima pekerjaan yang ditawarkan oleh perusahaan.

Selama tiga hari bekerja di tempat baru, Awe mendapatkan kesempatan menghubungi anak majikannya yang merupakan polisi.

Dari komunikasi ini, polisi akhirnya mendatangi kediaman majikan Awe bekerja, dan langsung mengamankannya.

Namun sebelum dibawa ke kantor polisi, Awe juga menuturkan polisi juga telah mengamankan dua temannya di dua lokasi berbeda.

Setelah tiga hari berada di tahanan kantor kepolisian setempat, Awe kemudian dipindahkan menuju Rumah Tahanan (Rutan).

Di sini ia mengakui bahwa banyak tahanan merupakan pekerja asal Indonesia, yang juga kurang mendapat perhatian dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).

“Kondisi sel sempit, kotor, dan baunya itu sangat menyengat. Banyak orang Indonesia di sana yang merupakan pekerja. Orang Indonesia terkenal karena masa penahanannya pasti lama. Bahkan beberapa sipir sempat bercanda, kalau dijemput oleh pemerintah pasti mereka akan keluar,” ungkap Awe.

Selama 20 hari menjalani status sebagai tahanan, Awe dan dua temannya akhirnya dijemput oleh KBRI Jeddah.

Ketiga orang ini kemudian dibawa untuk menunggu waktu kepulangan bersama 188 PMI non-prosedural di Arab Saudi.

Awe menjelaskan, mengalami kejadian ini hanya dalam waktu sembilan bulan, setelah menerima tawaran dari perusahaan penyalur tenaga kerja yang berada di Indonesia.

Alasannya, dalam perjalanan mencari penghasilan, Awe kerap mendapat perlakuan tidak manusiawi dari perusahaan penyalur di Arab, dan tidak pernah menerima gaji.

“Saya kan ke sana memang niatnya mencari nafkah bagi keluarga. Kalau sudah seperti itu, buat apa saya bertahan di sana. Walau jalan untuk kembali itu berat, namun saya harus lalui itu untuk selamat,” kata Awe.

Setelah selamat menjadi salah satu korban perdagangan manusia ini, Awe sendiri juga mengingatkan agar para calon buruh migran tidak langsung terpedaya akan tawaran yang diberikan oleh perusahaan penyalur.

“Saya mungkin termasuk orang beruntung, kalau tidak ada bantuan dari anak majikan saya, mungkin saya tidak tahu jadi apa saya hingga saat ini,” pungkas Awe.

https://regional.kompas.com/read/2023/04/05/161102978/cerita-mantan-buruh-migran-ilegal-di-arab-saudi-harus-dipenjara-demi-bisa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke