“Kami akhirnya masing-masing membuat jarak. Satu minang, satu Kerinci. Tidak boleh menikah antara Rencong Telang dan Ujung Pagaruyung. Sekarang kuburan sudah dipindah, tidak satu lagi. Rumah adat masing-masing punya satu,” kata Wahid.
Sementara itu, Anak betino (perempuan) masyarakat adat Muaro Langkap, Evi Puspita, merasa sulit menempatkan diri di lingkungan masyarakat bahkan keluarga.
Dia tidak menginginkan adanya permusuhan. Dari raut wajahnya, dia tampak gamang dengan masa depan anak-cucu.
“Saya sedih dan takut karena dibilang pengacau negeri oleh saudara sendiri. Padahal kita ini sedarah dan berasal dari yang satu. Saya ingin maju bersama-sama, saling mendukung dan harmonis seperti dulu. Jangan sampai tanah kita dikuasai orang. Anak cucu nantinya menumpang di tanah sendiri,” kata Puspita.
Dia mendukung perjuangan Datuk Mukhri untuk "merebut" tanah adat agar tidak menjadi hak milik perusahaan.
Menurut Puspita, apabila tanah adat dikuasai pihak lain, maka anak cucu akan menumpang di tanah sendiri.
Dia mengatakan, kesadaran untuk tidak melanggengkan perpecahan harus meluas.
Ini agar semakin banyak anak jantan dan betino yang sadar untuk lebih memikirkan kepentingan bersama dibanding kepentingan pribadi dan perusahaan.
Setelah satu dekade menolak, hampir seluruh masyarakat adat Muaro Langkap kini mendukung Pembangunan PLTA, milik anak usaha Kalla Grup.
Terutama kelompok perempuan berharap dalam memberikan kompensasi harus transparan dan adil. Sehingga tidak membuat masyarakat adat terbelah.
Pembangunan PLTA juga berdampak pada kelangsungan hidup nelayan.
Aktivitas menutup sungai sementara untuk pembangunan PLTA membuat anak sungai mengering dan berkurangnya sumber air.
Dengan demikian, migrasi ikan semah dari dan menuju Danau Kerinci menjadi terganggu.
Sekretaris Desa Batang Merangin, Yansori menuturkan, dalam catatan pemerintah desa, setelah perusahaan beroperasi dengan membuat terowongan, banyak sungai-sungai yang berada di kebun warga mengering.
Kejadian ini diperparah saat pihak perusahaan mematikan aliran Sungai Batang Merangin untuk beberapa bulan.
“Mereka matikan sungai sementara sebelum mereka membuat terowongan untuk mengalihkan aliran sungai. Tentu ini berdampak pada ikan semah yang tidak bisa migrasi ke hulu (Danau Kerinci),” kata Yansori.
Dampak kekeringan sumber air, kata Yansori, pihak perusahaan telah bertanggung jawab dengan membuat saluran air ke rumah warga dan kebun.
Ada dua daerah yang terkena dampak kegiatan pembangunan PLTA, yaitu Dusun Kampung Lereng dan Desa Sukaramai dengan total penduduk lebih dari 80 KK.
Banyak masyarakat yang hidup di aliran Sungai Batang Merangin masih mencari ikan semah.
Risman nelayan dari Desa Pasar Tamiai, salah satunya. Risman menuturkan, sebelum ada PLTA, air di sungai jernih sehingga mudah mendapatkan ikan.
Dalam waktu setengah hari mencari ikan, dia bisa mendapatkan 20-30 kilogram ikan.
Namun kini, dari pagi sampai sore hanya dapat setengah kilogram saja.
“Ikan semah itu mencari air yang jernih. Kalau airnya sudah keruh, dia tidak ada. Dia mabuk di air sungai yang keruh,” kata Risman.
Kini Risman memilih bertani, meskipun berharap ikan semah kembali seperti dulu.
Kepunahan ikan semah diperkuat dengan berkurangnya debit air yang berada di terjunan badan sungai setinggi 3 meter.
Dengan bekurangnya debit air sungai, maka ikan semah kesulitan untuk melompat ke atas saat migrasi.
Menurut penelitian Tedjo Sukmono, ikan semah butuh migrasi ke Danau Kerinci untuk bertelur dan ke hilir sungai untuk pemijahan di batu-batu sungai.
Tedjo menuturkan, untuk menghindari kepunahan ikan semah endemik, perusahaan harus membangun jembatan ikan, menjaga ekosistem sungai tetap alami, dan tidak melakukan tindakan, yang memperburuk kualitas air.
“Jangan sampai airnya terganggu,” kata Tedjo, ahli ikan air tawar dari Universitas Jambi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.