Itu artinya, pelanggaran HAM karena pembiaran (by omission) terjadi ketika Negara tidak melakukan sesuatu tindakan atau gagal untuk mengambil tindakan lebih lanjut yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban hukum.
Kegagalan Negara tentu perlu ditandai dan dicatat, bahkan ditagih konsekuensi logisnya.
Atas berbagai realitas yang terjadi, sudah waktunya ada perubahan dan evaluasi menyeluruh. Paradigma ‘sensitif konflik’ harus lebih mengemuka terutama di kalangan pengambil kebijakan publik dan aparat keamanan di level lokal.
Kita tentu tak mau jadi sekadar pemadam kebakaran, yang bertindak atau bersikap setelah api berkobar atau konflik menyeruak dan eksesif. Konflik yang terjadi tentu saja kerap berdampak pada kerugian besar, harta bahkan nyawa.
Peristiwa konflik pastinya akan terus berulang, bila ada semacam pembiaran, atau tak ada kecakapan dari aparat terkait, dalam menentukan atau mengidentifikasi persoalan mana yang kadar potensi konfliknya rendah, dan yang tensi konfliknya akan meninggi atau memanas.
Sudah waktunya daerah ‘rawan konflik’ memiliki lembaga atau satu komisi khusus, yang terdiri dari perwakilan masyarakat sipil, institusi adat dan akademisi yang dapat mendeteksi dini untuk kemudian memberikan rekomendasi, khususnya kepada kepolisian, mana saja persoalan atau peristiwa yang darurat dan harus segera ditindaklanjuti.
Ini penting, apalagi kepemimpinan aparat kepolisian, terutama di level kepolisian daerah, adalah perwira-perwira tinggi yang kapan saja bisa di-rolling atau diganti. Di antaranya juga datang atau pindah tugas dari daerah lain.
Pejabat baru perlu adaptasi karena belum mengenal kondisi kamtibmas dengan lebih konfrehensif. Hal itu memungkinkan adanya pengambilan keputusan yang lambat, bahkan keliru atau kurang tepat.
Di Maluku lembaga yang diperlukan tersebut bisa semacam atau diberi nama “Komisi Antisipasi Konflik’ atau Commission of Conflict Anticipation.
Lembaga ini nantinya akan membantu mengkaji, memetakan dan mengidentifikasi potensi konflik dengan lebih detail dan presisi, untuk kemudian disampaikan dalam bentuk laporan atau rekomendasi investigatif kepada pihak-pihak terkait, eksekutif dan legislatif, juga yang paling utama adalah kepada aparat keamanan atau kepolisian.
Begitu pula jika ada persoalan, laporan atau aduan dari masyarakat. Komisi ini dapat langsung melakukan analisis atau kajian cepat, untuk segera memberikan masukan, karena memiliki akses komunikasi, koordinasi yang intens dengan otoritas keamanan, serta para pengambil kebijakan terkait.
Adapun anggota atau komisioner di Komisi Antisipasi Konflik tersebut adalah para profesional dari berbagai kalangan, yang direkrut dengan terlebih dahulu melewati rangkaian seleksi terbuka, semacam fit and proper test. Sehingga yang terpilih adalah mereka yang benar-benar memahami tugas dan fungsinya.
Gagasan atau usulan ini perlu dipertimbangkan oleh para pemangku kebijakan, karena menyangkut kebutuhan dan kepentingan daerah yang berjangka panjang.
Konflik secara sosial itu selalu ada atau terus hidup di masyarakat, yang terpenting bagaimana mengelola dan mengantisipasi konflik itu sehingga tidak meluas atau eksesif dan destruktif.
Terkait kelembagaan ini, kita bisa belajar dari pembentukan Komisi Persatuan dan Rekonsiliasi Nasional (NURC) di Rwanda, Negara yang pernah dilanda konflik antaretnik.