Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
M. Ikhsan Tualeka
Pegiat Perubahan Sosial

Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com - Instagram: @ikhsan_tualeka

Menggagas Komisi Antisipasi Konflik di Maluku

Kompas.com - 17/03/2023, 13:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SATU hal yang menjadi problem pelik di kepulauan Maluku adalah masih sering terjadi konflik antarnegeri atau desa.

Kepolisian Daerah Maluku pada 6 Februari 2022 lalu, bahkan merilis 52 titik rawan konflik di Maluku. Jumlah yang tentu saja tidak sedikit.

Sekalipun sejumlah konflik yang terjadi bukan lagi dilatarbelakangi alasan Suku, Agama dan Ras (SARA) seperti pada 1999 lalu, namun tetap saja mengkhawatirkan dan bisa saja menjadi pemicu konflik yang lebih eksesif.

Apalagi sejumlah konflik yang sebelumnya hanya antarnegeri atau kelompok pemuda, namun turut menyebabkan ketegangan dan pembelahan sosial di kalangan persekutuan masyarakat adat yang lebih luas dari masing-masing pihak yang bertikai.

Kalau mau ditelisik, konflik yang terjadi rata-rata akibat berbagai persoalan di masyarakat yang lambat atau tidak terselesaikan, baik itu penyelesaian persoalan secara adat, dengan musyawarah atau melalui hukum Negara. Sejumlah titik konflik juga adalah konflik yang berulang.

Akibat persoalan awal atau yang menjadi pemicu konflik tak kunjung terselesaikan, masyarakat memilih atau punya kecenderungan untuk menyelesaikan persoalannya sendiri, yang seringkali destruktif dan menimbulkan korban harta maupun jiwa.

Sejumlah konflik harus diakui, dalam kadar tertentu menunjukan gagalnya peran dan tanggung jawab negara. Baik itu dalam penegakkan hukum maupun dalam mengupayakan dan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk mereduksi atau mengantisipasi potensi konflik.

Padahal jika mau dilihat berdasarkan berbagai teori konflik, konflik sosial yang ada di masyarakat tidak terjadi begitu saja.

Ada satu atau lebih pemicu dalam masyarakat tersebut yang menyebabkan antar individu atau kelompok bisa terlibat perselisihan dan konflik.

Itu berarti konflik sesungguhnya bisa dicegah atau diantisipasi bila instrumen Negara, terutama aparat keamanan atau penegak hukum dapat mengambil langkah-langkah proaktif dalam menyelesaikan perbedaan pendapat atau kepentingan antara dua kelompok.

Kemudian membangun konsensus, sehingga konflik atau pertikaian tak berujung pada konflik sosial yang luas dan destruktif.

Lambannya penanganan berbagai persoalan dan potensi konflik, seperti sengketa agraria atau hak ulayat, maupun peristiwa pidana lainnya, terutama di wilayah-wilayah bekas atau rawan konflik menunjukkan negara kurang sensitif dan proaktif dalam mencegah terjadinya konflik.

Fenomena ini, mengindikasikan belum optimalnya pemerintah (bila tidak mau dikatakan gagalnya tanggung jawab negara) dalam mencegah terjadinya konflik sosial yang luas dan eksesif. Negara kerap gagal menjalankan kewajiban melindungi warga Negara (obligation to protect).

Tentu saja, salah satu kewajiban Negara adalah melindungi. Kewajiban Negara agar bertindak aktif untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap hak asasi warganya.

Negara berkewajiban mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah pelanggaran semua HAM oleh pihak manapun.

Itu artinya, pelanggaran HAM karena pembiaran (by omission) terjadi ketika Negara tidak melakukan sesuatu tindakan atau gagal untuk mengambil tindakan lebih lanjut yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban hukum.

Kegagalan Negara tentu perlu ditandai dan dicatat, bahkan ditagih konsekuensi logisnya.

Atas berbagai realitas yang terjadi, sudah waktunya ada perubahan dan evaluasi menyeluruh. Paradigma ‘sensitif konflik’ harus lebih mengemuka terutama di kalangan pengambil kebijakan publik dan aparat keamanan di level lokal.

Kita tentu tak mau jadi sekadar pemadam kebakaran, yang bertindak atau bersikap setelah api berkobar atau konflik menyeruak dan eksesif. Konflik yang terjadi tentu saja kerap berdampak pada kerugian besar, harta bahkan nyawa.

Peristiwa konflik pastinya akan terus berulang, bila ada semacam pembiaran, atau tak ada kecakapan dari aparat terkait, dalam menentukan atau mengidentifikasi persoalan mana yang kadar potensi konfliknya rendah, dan yang tensi konfliknya akan meninggi atau memanas.

Sudah waktunya daerah ‘rawan konflik’ memiliki lembaga atau satu komisi khusus, yang terdiri dari perwakilan masyarakat sipil, institusi adat dan akademisi yang dapat mendeteksi dini untuk kemudian memberikan rekomendasi, khususnya kepada kepolisian, mana saja persoalan atau peristiwa yang darurat dan harus segera ditindaklanjuti.

Ini penting, apalagi kepemimpinan aparat kepolisian, terutama di level kepolisian daerah, adalah perwira-perwira tinggi yang kapan saja bisa di-rolling atau diganti. Di antaranya juga datang atau pindah tugas dari daerah lain.

Pejabat baru perlu adaptasi karena belum mengenal kondisi kamtibmas dengan lebih konfrehensif. Hal itu memungkinkan adanya pengambilan keputusan yang lambat, bahkan keliru atau kurang tepat.

Di Maluku lembaga yang diperlukan tersebut bisa semacam atau diberi nama “Komisi Antisipasi Konflik’ atau Commission of Conflict Anticipation.

Lembaga ini nantinya akan membantu mengkaji, memetakan dan mengidentifikasi potensi konflik dengan lebih detail dan presisi, untuk kemudian disampaikan dalam bentuk laporan atau rekomendasi investigatif kepada pihak-pihak terkait, eksekutif dan legislatif, juga yang paling utama adalah kepada aparat keamanan atau kepolisian.

Begitu pula jika ada persoalan, laporan atau aduan dari masyarakat. Komisi ini dapat langsung melakukan analisis atau kajian cepat, untuk segera memberikan masukan, karena memiliki akses komunikasi, koordinasi yang intens dengan otoritas keamanan, serta para pengambil kebijakan terkait.

Adapun anggota atau komisioner di Komisi Antisipasi Konflik tersebut adalah para profesional dari berbagai kalangan, yang direkrut dengan terlebih dahulu melewati rangkaian seleksi terbuka, semacam fit and proper test. Sehingga yang terpilih adalah mereka yang benar-benar memahami tugas dan fungsinya.

Gagasan atau usulan ini perlu dipertimbangkan oleh para pemangku kebijakan, karena menyangkut kebutuhan dan kepentingan daerah yang berjangka panjang.

Konflik secara sosial itu selalu ada atau terus hidup di masyarakat, yang terpenting bagaimana mengelola dan mengantisipasi konflik itu sehingga tidak meluas atau eksesif dan destruktif.

Terkait kelembagaan ini, kita bisa belajar dari pembentukan Komisi Persatuan dan Rekonsiliasi Nasional (NURC) di Rwanda, Negara yang pernah dilanda konflik antaretnik.

NURC merupakan lembaga independen yang dibentuk untuk mengupayakan rekonsiliasi pihak-pihak yang berkonflik atau yang terlibat dalam perang saudara di Rwanda.

Seperti namanya, Komisi ini dimaksudkan untuk mempromosikan persatuan dan rekonsiliasi di antara mantan penentang atau pihak-pihak yang pernah dan berpotensi untuk berkonflik dalam populasi Rwanda.

Tugas komisi ini komprehensif, antara lain membangun dan mempromosikan mekanisme untuk memulihkan dan memperkuat persatuan dan rekonsiliasi Rwanda; mendidik, menyadarkan dan memobilisasi penduduk di bidang persatuan dan rekonsiliasi.

Selain itu melakukan penelitian, menyelenggarakan debat, menyebarluaskan ide dan membuat publikasi tentang promosi perdamaian, persatuan dan rekonsiliasi warga Rwanda; untuk mengusulkan tindakan dan kebijakan yang dapat berkontribusi pada penanggulangan perpecahan di antara warga Rwanda dan memperkuat persatuan dan rekonsiliasi.

Lembaga tersebut juga untuk melawan tindakan, publikasi, dan ucapan atau ujaran yang mempromosikan segala jenis perpecahan termasuk diskriminasi, intoleransi dan xenofobia;

Membuat laporan tahunan dan laporan lain yang dianggap perlu, mengenai tingkat pencapaian persatuan dan rekonsiliasi;

Memantau bagaimana lembaga publik, pemimpin dan penduduk pada umumnya mematuhi kebijakan dan prinsip persatuan (nasional) dan rekonsiliasi.

Meskipun mengakui peristiwa konflik yang terjadi di masa lalu, fokus utama lembaga ini bukanlah pada penyelidikan. Fokus Komisi ini adalah mendamaikan masyarakat Rwanda untuk bersatu dan damai.

Sekalipun NURC ada di level nasional, cakupan penanganan dan antisipasi konfliknya juga ada dalam skala serta polarisasi yang lebih luas atau besar.

Namun mandat dan keberadaan lembaga itu tentu saja dapat diduplikasi atau menjadi semacam benchmark di daerah dengan titik konflik yang banyak seperti di kepulauan Maluku.

Mencari format dan pendekatan struktural atau kelembagaan selain pendekatan-pendekatan lainnya dalam penyelesaian konflik di Maluku menjadi penting untuk memastikan penanganan dan upaya mereduksi potensi konflik berjalan dengan lebih komprehensif, memadai dan berkelanjutan.

Perbedaan karakteristik dan persoalan daerah di tanah air, tentu saja membutuhkan pendekatan kelembagaan yang tentu berbeda pula, guna menjawab kebutuhan dan problematika yang mengemuka di tengah masyarakatnya.

Dalam kontek ini, Negara jauh lebih worth it mengalokasikan dan menggelontorkan dana untuk lembaga semacam Komisi Antisipasi Konflik, ketimbang untuk sejumlah komisi atau lembaga vertikal yang kadang keberadaannya tak begitu relevan dengan urgensi kebutuhan di daerah seperti di Maluku.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com