DALAM sesi makan siang di suatu acara beberapa hari lalu, saya berdiri bersisian dengan seorang pemuda brewok berkopiah hitam.
Seorang kawan dari belakang berkata,"sesama anak IPNU."
Saya langsung menoleh,"oh, dulu IPNU juga?"
"Ya," kata dia. "Tepatnya IPPNU," lanjutnya.
Saya terkesiap, tapi kemudian segera sadar, pemuda brewok di samping saya ini adalah Amar Alfikar, seorang transman Muslim. Dia lahir sebagai orang dengan organ seks perempuan.
Terlahir dari lingkungan keluarga santri, Amar biasa menggunakan jilbab sebelum akhirnya menyadari memiliki dysphoria gender, bahwa jauh di lubuk hatinya, dia tidak pernah merasa sebagai seorang perempuan. Akhirnya dia memutuskan menjadi seorang transman.
Selain menanggalkan jilbab dan berganti nama, Amar juga menumbuhkan jenggot dan kumis serta mengubah suara seperti umumnya pria.
Ini benar-benar perubahan yang sempurna dari seorang aktivis Ikatan Putri-putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) atau rekanita IPPNU.
Saya tidak sempat bertanya apakah dia benar-benar pindah ke Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU). Namun dilihat dari sekilas penampilannya, dia cukup cocok dipanggil rekan IPNU dibanding rekanita IPPNU.
Keputusan individual yang revolusioner itu ternyata mendapatkan dukungan dari kedua orangtuanya.
"Mereka selalu mendukung saya untuk terus berjuang dan mengejar impian saya. Mereka bahkan bersedia bersaksi ketika saya mengajukan permintaan untuk mengganti nama di pengadilan sipil," tutur Amar (Suara.com, 11/06/2020).
Bagaimana sebuah keluarga santri NU bisa seterbuka itu? Menarik.
Secara umum, puluhan juta Nahdliyyin tentu tidak seterbuka dan seliberal Amar. Orang seperti Amar atau keluarga Amar tentu bukan arus utama di NU.
Sebagai organisasi dengan jumlah massa raksasa, NU mewakili arus utama yang ada di masyarakat Indonesia.
Dalam isu LGBT, misalnya, survei SMRC Mei 2022 menunjukkan penerimaan dari massa NU pada eksistensi LGBT tidak berbeda dengan umumnya masyarakat Indonesia.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.