Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Saidiman Ahmad
Peneliti Politik dan Kebijakan Publik

Peneliti Politik dan Kebijakan Publik Saiful Mujani Research and Consulting; Alumnus Crawford School of Public Policy, Australian National University.

Rahasia Satu Abad NU

Kompas.com - 05/02/2023, 12:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM sesi makan siang di suatu acara beberapa hari lalu, saya berdiri bersisian dengan seorang pemuda brewok berkopiah hitam.

Seorang kawan dari belakang berkata,"sesama anak IPNU."

Saya langsung menoleh,"oh, dulu IPNU juga?"

"Ya," kata dia. "Tepatnya IPPNU," lanjutnya.

Saya terkesiap, tapi kemudian segera sadar, pemuda brewok di samping saya ini adalah Amar Alfikar, seorang transman Muslim. Dia lahir sebagai orang dengan organ seks perempuan.

Terlahir dari lingkungan keluarga santri, Amar biasa menggunakan jilbab sebelum akhirnya menyadari memiliki dysphoria gender, bahwa jauh di lubuk hatinya, dia tidak pernah merasa sebagai seorang perempuan. Akhirnya dia memutuskan menjadi seorang transman.

Selain menanggalkan jilbab dan berganti nama, Amar juga menumbuhkan jenggot dan kumis serta mengubah suara seperti umumnya pria.

Ini benar-benar perubahan yang sempurna dari seorang aktivis Ikatan Putri-putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) atau rekanita IPPNU.

Saya tidak sempat bertanya apakah dia benar-benar pindah ke Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU). Namun dilihat dari sekilas penampilannya, dia cukup cocok dipanggil rekan IPNU dibanding rekanita IPPNU.

Keputusan individual yang revolusioner itu ternyata mendapatkan dukungan dari kedua orangtuanya.

"Mereka selalu mendukung saya untuk terus berjuang dan mengejar impian saya. Mereka bahkan bersedia bersaksi ketika saya mengajukan permintaan untuk mengganti nama di pengadilan sipil," tutur Amar (Suara.com, 11/06/2020).

Bagaimana sebuah keluarga santri NU bisa seterbuka itu? Menarik.

Secara umum, puluhan juta Nahdliyyin tentu tidak seterbuka dan seliberal Amar. Orang seperti Amar atau keluarga Amar tentu bukan arus utama di NU.

Sebagai organisasi dengan jumlah massa raksasa, NU mewakili arus utama yang ada di masyarakat Indonesia.

Dalam isu LGBT, misalnya, survei SMRC Mei 2022 menunjukkan penerimaan dari massa NU pada eksistensi LGBT tidak berbeda dengan umumnya masyarakat Indonesia.

Dalam survei tersebut ditemukan bahwa ada 44 persen dari warga yang mengaku sebagai anggota aktif NU yang menyatakan setuju atau sangat setuju bahwa seorang LGBT harus dihargai sebagai manusia.

Sementara yang tidak setuju dengan pandangan tersebut sebanyak 50 persen.

Angka ini sangat mirip dengan pandangan publik Indonesia secara keseluruhan: 44,5 persen yang setuju dan 49,3 persen yang tidak setuju.

Walaupun NU adalah representasi dari umumnya warga Indonesia (terutama Muslim), namun organisasi ini memberi peluang atau cukup ramah pada munculnya gerakan perubahan. Pelbagai inovasi dalam pemikiran Islam muncul dari rahim organisasi ini.

NU telah melahirkan para pembaru pemikiran Islam dan penggerak perubahan di lingkungan Islam Indonesia, antara lain Abdurrahman Wahid, Masdar F. Mas’udi, Sinta Nuriyah, Ulil Abshar-Abdalla, Abdul Moqsith Ghazali, Husein Muhammad, Nazaruddin Umar, Nur Rofiah, Badriah Fayumi, Alissa Wahid, Syafiq Hasyim, Neng Dara Affiah, Savic Ali, dan seterusnya. Akan panjang sekali jika disebutkan semua.

Karakter adaptif yang melekat padanya membuat NU menjadi representasi arus utama Islam Indonesia di satu sisi, namun pada sisi yang lain, dia tidak menutup pintu bagi perubahan.

Karakter ini terjadi di semua lini organisasi, baik dalam hal pemikiran, aksi sosial, politik, sampai ke rekrutmen anggota.

Di Makassar, misalnya, rekrutmen anggota NU tidak melulu datang dari lembaga pendidikan Islam. Rekrutmen anggota organisasi ini dilakukan antara lain melalui pengkaderan IPNU dan IPPNU.

Di Makassar, tidak cukup banyak pesantren yang berafiliasi dengan NU. Wilayah ini lebih banyak didominasi oleh pesantren-pesantren Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI) dan Muhammadiyah atau lembaga pesantren modern.

Di antara sedikit pesantren NU tersebut, salah satu yang cukup besar adalah Pesantren An-Nadlah dan Ulul Albab. Dua pesantren ini menjadi salah satu sumber rekrutmen aktivis NU di Makassar.

Namun di luar dua pesantren NU tersebut, rekrutmen lebih banyak berasal dari madrasah aliah dan tsanawiyah umum. Yang menarik adalah bahwa rekrutmen juga banyak datang dari sekolah menengah umum (SMU).

Bahkan secara sengaja, para aktivis IPNU dan IPPNU merekrut dan melatih para pemuda di pasar dan terminal untuk menjadi anggota IPNU.

Sebuah masjid besar di salah satu pasar di kota Makassar dikelola oleh remaja masjid yang berasal para aktivis IPNU/IPPNU.

Mereka awalnya adalah para remaja yang hobi nongkrong di lorong-lorong sekitar pasar. Salah satu tempat nongrong mereka bernama Lorong Maut.

Ini pengalaman pribadi penulis ketika aktif di IPNU Makassar pada masa peralihan kepengurusan Hilmi Muhammadiyah ke Abdullah Azwar Anas.

Pola rekrutmen seperti ini mungkin tidak terlalu umum terjadi di kantong-kantong NU dengan karakter santri yang kuat seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Di Jawa, NU mungkin menjadi wadah organisasi para santri, namun di wilayah lain, NU bisa menjadi wadah organisasi masyarakat non-santri.

Fakta-fakta kecil bagaimana NU berapdatasi dengan lingkungan terjadi dalam pelbagai bidang, bahkan sampai level terjauh seperti dalam kasus Amar Alfikar dan rekrutmen pemuda pasar di Makassar.

Kemampuan untuk beradaptasi inilah yang menjadi kunci kebesaran NU. NU bisa diterima di pelbagai tempat dengan karakter dan kondisi masyarakat yang berbeda-beda adalah karena ia lentur dan bisa menyesuaikan diri.

Satu abad NU tetap berdiri dan semakin besar adalah konsekuensi logis dari kemampuan beradaptasi dan menyerap aspirasi baru tersebut.

Selamat satu abad Nahdlatul Ulama! Tetaplah terbuka!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com