BENGKULU, KOMPAS.com - 17 Tahun silam, Rizra Nandra (17) merupakan bocah kecil lucu yang hidup berkecukupan. Ayah dan kakeknya dikenal sebagai nelayan dayung yang memiliki 1 hektar kebun kelapa.
Dari hasil laut dan buah kelapa yang melimpah, Rizra tumbuh menjadi seorang remaja di Desa Pondok Kelapa, Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi Bengkulu.
Citaa-citanya saat itu adalah polisi. Baginya, polisi merupakan simbol pemberantasan kejahatan seperti rampok dan kegiatan kriminal lainnya.
Baca juga: Jalan Rusak dan Tiang Listrik Roboh akibat Abrasi di Sumbawa
Tahun 2021 Rizra menamatkan pendidikan SMP. Keinginannya menjadi polisi semakin menguat di dada remaja ini.
Namun keadaan berkata lain. Pendidikannya berhenti setelah lulus SMP.
Kebutuhan dana untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi terhenti ketika abrasi mengunyah ludes daratan di desanya hingga menghilangkan kebun kelapa milik kakek dan ayahnya.
Kini ibu Rizra, Raunah (43), membuka warung kecil di rumahnya. Sedangkan ayah Rizra menjadi sopir truk. Untuk mengisi kekosongan waktu, Rizra kadang membantu ayahnya menjadi kenek truk.
"Tahun 2021 anak saya tamat SMP kami tak mampu melanjutkan pendidikan Rizra. Harapan kami untuk modal sekolah Rizra tempo hari kebun kelapa seluas 1 hektar dan nelayan. Namun sekarang semua sudah menjadi laut. Kebun habis disapu abrasi tambatan kapal lenyap ditelan laut," ujar Raunah.
Baca juga: Bengkulu Diguncang 912 Gempa Bumi Sepanjang 2022
Cerita Rizra merupakan satu cerita kecil dari ratusan anak-anak di Bengkulu yang putus sekolah akibat dampak abrasi.
Raunah menyatakan, di desanya itu ada belasan anak-anak seusia Rizra yang mengalami nasib sama, terhenti sekolah akibat ratusan hektar kebun kelapa dan tambatan kapal nelayan karam ditelan abrasi.
"Di kampung kami ada belasan anak putus sekolah akibat abrasi mereka itu seangkatan sekolahnya dengan Rizra. Belum lagi angkatan di atas Rizra masih banyak," tambah Raunah.
Kebanyakan keseharian para remaja putus sekolah itu menjadi pengangguran sesekali membantu menjadi kuli harian orangtua.
Raunah dan Sahrizal, suaminya dahulu, memiliki kebun kelapa warisan kakek Rizra seluas 1 hektar. Sekitar 17 tahun lalu mereka hidup dari kebun kelapa.
Hasil penjualan kelapa dalam sebulan rata-rata Rp 1 juta. Sedangkan hasil tangkapan nelayan dan kegiatan Raunah menjual ikan kering mencapai Rp 2 juta per bulan.
Bila ditambah dengan penghasilan suaminya sebagai nelayan sekitar Rp 3 juta per bulan, pendapatan keluarga ini per bulan mencapai Rp 6 juta.